Bayi Tak Bisa Diperlakukan seperti Orang Dewasa, Berdampak pada Perkembangan Mental

Bayi Tak Bisa Diperlakukan seperti Orang Dewasa, Berdampak pada Perkembangan Mental

tribun-nasional.comPIKIRAN RAKYAT – Parenting atau pengasuhan anak menjadi topik yang terus berkembang di antara orangtua. Parenting itu mulai dari pola asuh yang memberikan pertumbuhan fisik yang sehat, perkembangan emosional yang sehat, serta pembentukan karakter anak yang baik.

Akan tetapi, tidak sedikit orangtua yang mempraktikkan gaya pengasuhan yang tidak memperhatikan kondisi dan kebutuhan anak. Bukan hanya soal asupan gizi untuk pertumbuhan fisik, tapi juga pengasuhan yang berdampak pada psikologisnya.

Beberapa waktu lalu, media sosial ramai dengan video seorang selebgram yang membawa bayinya bermain jetski. Orangtuanya tampak senang dan tertawa, sementara bayinya yang baru berusia 5 bulan tampak wajahnya sangat tegang.

Lalu, ada juga video viral di mana seorang ibu mengaku memberikan kopi susu saset ke bayinya yang berusia 7 bulan. Alasannya, karena toh di dalamnya mengandung susu. Hal itu bahkan sampai mengundang perhatian Presiden Joko Widodo yang juga mengingatkan kader posyandu untuk lebih bergerak lagi ke masyarakat supaya mencegah pemahaman yang keliru.

Baca Juga: Perkembangan Teknologi Perbankan, Memudahkan Konsumen hingga Peluang Kejahatan

Beberapa hari lalu, ada lagi yang viral mengenai bayi belum berusia 1 tahun yang dikerok oleh ibunya. Dalam pernyataan yang ditulis ibunya di media sosial , ia bahkan bangga anaknya tetap tenang saat dikerok.

Asupan, perlakuan, atau kebiasaan yang diterima bayi memang sangat tergantung pada orang tuanya. Akan tetapi, bayi tidak seharusnya diperlakukan seperti orang dewasa, baik dari segi pola makan maupun pola asuh .

Terkait dengan pola makan, itu pun memperlihatkan mengapa masih banyak anak Indonesia yang mengalami stunting atau kegagalan mencapai potensi pertumbuhan. Meski, prevalensi stunting di Indonesia telah turun dari 24,4 persen di tahun 2021 menjadi 21,6 persen di 2022, berdasarkan data Kementerian Kesehatan.

Namun, targetnya sendiri adalah 14 persen di tahun 2024. Standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan bahwa prevalensi stunting harus di bawah 20 persen. Karena itulah Kemenkes berencana melakukan intervensi gizi pada ibu sebelum dan saat hamil, serta intervensi pada anak usia 6 bulan sampai 2 tahun.

Baca Juga: Tak Bisa Ditawar Lagi, Masyarakat Perlu Edukasi Perbankan

Menurut Tisnasari Hafsah, dokter Spesialis Anak di RS Hasan Sadikin Kota Bandung, asupan gizi bayi baru lahir hanya perlu didapatkan dari ASI (air susu ibu) saja. Barulah setelah 6 bulan, bayi harus sudah mendapat tambahan makanan pendamping ASI (MPASI) dengan ASI tetap dilanjutkan hingga 2 tahun atau lebih.

“MPASI harus yang bergizi dan sesuai dengan perkembangan saluran cerna maupun keterampilan anak. Jadi jangan dikasih kopi susu ya,” kata Tisnasari.

Begitupun mengenai pola asuh atau kebiasaan yang dilakukan orang tua ke bayi . Seperti peristiwa anak yang dikerok, ia mengatakan, itu tidak seharusnya dilakukan kepada bayi yang kulitnya masih sangat halus.

“Kalau bayi masuk angin, dikerokin mah enggak ada evidence base-nya ya. Menurut saya, dikerokin terlalu kasar untuk bayi yang kulitnya masih sangat halus,” kata Tisnasari yang juga berpraktik di RS Limijati Kota Bandung itu.

Menurut psikolog Dono Baswardono, baik secara fisik maupun psikologis, bayi tidak dapat diperlakukan seperti orang dewasa. Hal itu dikatakannya akan berdampak pada perkembangan mentalnya kelak.

“Meski bayi dikatakan baru mengingat berbagai kejadian setelah sekitar umur 3 tahun, bukan berarti gaya parenting selama masa bayi tidak berpengaruh pada psikologi anak. Bagaimana perlakuan orangtua ketika janin masih di dalam kandungan saja berpengaruh pada perkembangan mental anak setelahnya,” ucapnya.

Bayi yang kebutuhannya, baik fisik maupun psikologis, tidak atau kurang terpenuhi akan memiliki kelekatan emosional yang berbeda-beda. Begitupun bayi yang terpenuhi tetapi secara inkonsisten. Kelekatan emosional pada masa bayi itu berpengaruh pada seperti apa hubungan si anak saat sekolah, remaja, bahkan sampai dewasa.

“Misalnya, bayi yang kebutuhannya kerap diabaikan, cenderung kelak juga menjadi pribadi yang kurang mampu mengenali perasaannya sendiri maupun perasaan orang lain. Ia cenderung menghindari hal-hal yang melibatkan emosi, misalnya dengan sibuk bekerja,” kata Dono yang juga menjadi pendiri layanan untuk anak-anak jenius dan gifted di Cornerstone.

Dari segi pola makan, secara fisik, lambung bayi belum siap menerima makanan padat. Maka, memberikan makanan padat sebelum umur 6 bulan, misalnya, dapat menimbulkan gangguan kesehatan.

Apalagi, berkaitan dengan yang viral yaitu pemberian kopi susu saset. “Itu bukan makanan untuk bayi . Walau mengandung susu, tetapi jenis susu yang berbeda dari susu yang memang khusus untuk bayi ,” ucapnya.

Begitu pula perkembangan emosional bayi yang masih terbatas, tidak memungkinkan kita memperlakukannya seperti anak, remaja, apalagi seperti orang dewasa. Bayi rewel misalnya, bukan karena hendak menguji kesabaran orangtua, tapi karena bayi memang belum mampu berpikir atau berniat untuk mengukur atau menilai orangtuanya.

Bayi rewel, kata dia, biasanya karena ada problem inderawi. Misalnya situasi di sekitarnya bising, kulitnya sensitif terhadap suhu tertentu, atau masalah sensorik lainnya.

“Jadi memperlakukan bayi seakan-akan seperti orang dewasa yang sudah mengerti banyak hal tentu sangat tidak pas. Bahkan tugas orangtuanyalah untuk mampu menenangkan dirinya sendiri ketika bayinya rewel. Dengan begitu, si bayi akan mendapat teladan bagaimana cara menenangkan dirinya sendiri, kelak,” tuturnya.***