tribun-nasional.com – “Sorot mata anak ini benar-benar menyentuh saya,” kata dokter Ahmad al-Masri. “Saya tidak tahu kenapa tapi begitu dia menatap saya, saya mulai menangis.”
Sudah lebih dari 30 jam sejak gempa bumi dahsyat mengguncang Suriah pada hari Senin (6/2/2023) dan Dr Masri kelelahan.
Dia dan hanya satu dokter lainnya merawat puluhan orang yang terluka di rumah sakit mereka di Afrin, sebuah kota di Suriah barat laut yang dikuasai oposisi.
Salah satunya, Muhammad, bocah berusia tujuh tahun yang diselamatkan dari bawah puing-puing rumahnya.
Tim penyelamat menemukannya terbaring di samping jenazah ayahnya, yang tertindih reruntuhan bersama dengan ibu dan saudara-saudaranya.
“Cara bocah laki-laki itu memandang kami, saya merasa dia percaya pada kami, dia tahu bahwa dia aman sekarang,” kata Dr Masri kepada saya melalui panggilan Zoom.
“Tapi saya juga merasa dia punya banyak kekuatan, misalnya dia menahan rasa sakit dari luka-lukanya. Apa yang membuat seorang anak berusia tujuh tahun begitu kuat dan tabah?”
Dr Masri adalah seorang ahli bedah di Rumah Sakit Al-Shifa, yang disokong oleh Syrian American Medical Society (SAMS), sebuah lembaga amal. Dia mengatakan pihaknya menerima lebih dari 200 pasien segera setelah bencana.
Penyintas muda lainnya yang dibawa oleh regu penyelamat adalah seorang anak laki-laki berusia 18 bulan.
Dr Masri memeriksanya dan memastikan dia baik-baik saja. Tetapi sang dokter kemudian menyadari bahwa orangtua bocah itu tidak bersamanya.
“Tiba-tiba, saya melihat ayahnya berlari ke arahnya dan memeluknya, terisak dan menangis,” katanya.
“Sang ayah mengatakan kepada saya bahwa anak ini adalah satu-satunya yang selamat di keluarganya. Anggota keluarga lainnya terbaring di koridor, tak bernyawa.”
Dr Masri mengatakan, para staf di rumah sakit tercengang dengan skala bencana, dengan “gelombang” pasien yang datang sekaligus.
“Saya tidak pernah membayangkan bahwa gempa bumi dapat menciptakan kerusakan sebanyak ini, dapat menyebabkan jumlah pasien sebanyak ini.”
Meski begitu, dia sudah terbiasa menangani insiden besar.
Pada 2013, dia bekerja di rumah sakit lapangan ketika roket yang berisi agen saraf sarin ditembakkan ke beberapa daerah suburban yang dikuasai oposisi di pinggir ibu kota, Damaskus. Ratusan orang tewas dan ribuan lainnya terluka.
“Waktu itu, kami sudah dilatih dan dipersiapkan, sebagai dokter untuk peristiwa semacam itu,” kata Dr Masri. “Kami mampu mengatur diri dengan cepat. Tapi dalam skenario ini kami tidak siap. Situasi ini jauh lebih buruk.”
Setelah gempa hari Senin, dia dan rekan-rekannya di Afrin menangani pasien yang awalnya tampak hanya terluka ringan.
“Itu cedera yang menurut Anda tidak serius, tetapi kemudian ada seseorang yang perlu diamputasi,” katanya. “Kami tidak punya kapasitas di rumah sakit kami untuk menanggapi bencana semacam ini.”
“Yang terburuk adalah menjadi dokter dalam keadaan seperti ini. Ketika Anda tidak bisa menyelamatkan pasien atau meringankan rasa sakit seseorang–itu adalah hal terburuk yang bisa Anda rasakan.”
Saat merawat pasien, Dr Masri juga tidak tahu apakah keluarganya sendiri aman karena pasokan listrik dan internet mati.
Orangtua dan saudara-saudaranya tinggal hanya beberapa ratus meter dari rumah sakit, tetapi istri dan anak-anaknya tinggal di seberang perbatasan di Kota Gaziantep, Turki selatan, yang dekat dengan pusat gempa dan juga terdampak buruk.
“Perasaan terburuk yang dapat Anda miliki selama krisis seperti itu adalah tidak tahu apakah keluarga dan orang yang terkasih Anda baik-baik saja.”
“Kami melihat pasien dengan dua mata–satu untuk menilai luka mereka, dan yang lainnya untuk melihat apakah pasien itu anggota keluarga atau bukan.”
Dr Masri mendesah lega ketika kakaknya berlari ke rumah sakit untuk meyakinkan dia bahwa seluruh keluarganya aman. Dia juga bisa beristirahat sejenak di rumah sakit.
“Ketika saya tidur pada saat itu, saya seperti pingsan,” katanya. “Ada saat-saat ketika saya membutuhkan seseorang untuk menopang saya sehingga saya bisa terus bekerja.”
Dr Masri kemudian berhasil pulang kerja dan sarapan bersama keluarganya. Dia berharap akhirnya bisa melakukan perjalanan untuk menengok istri dan anak-anaknya di Gaziantep.
Dia berkata, dia juga pergi untuk memeriksa Muhammed keesokan harinya dan bertanya kepada anak berusia tujuh tahun itu apakah dia mengenalinya.
“Ya, Anda adalah dokter yang menyelamatkan hidup saya,” jawab Muhammed.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram “Kompas.com News Update”, caranya klik link , kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.