Hamianin menyadari bahwa mayoritas warga Indonesia, cenderung mendukung Rusia dalam perang yang sedang terjadi di negaranya. Karena itu, ketika berbicara di Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Senin (18/7), dia memanfaatkan momentum yang terjadi pada 17 Juli 2014 untuk mengingatkan tindakan keji Rusia terhadap masyarakat sipil. Ketika itu, pesawat Malaysia Airlines MH17 meledak akibat rudal buatan Rusia, yang ditembakkan milisi yang didukung Rusia, di wilayah udara Ukraina.
“Hari ini saya harus menyebut satu peristiwa tragis yang sangat disayangkan terjadi delapan tahun yang lalu, pada 17 Juli. Bencana yang terjadi pada penerbangan Malaysian Airlines MH17, ditembak oleh agresor Rusia di dekat perbatasan antara Ukraina dan Rusia, yang saat itu diduduki oleh teroris Rusia,” kata Hamianin.
Dia bahkan mengajak ratusan peserta Ambassadorial Lecture bertema “The Ukrainian Question in Global Politics”, untuk mengheningkan cipta selama 15 detik.
Dalam penerbangan itu, lanjut Hamianin, ada lebih dari 200 orang penumpang yang meninggal, termasuk 12 orang dari Indonesia dan bayi. Pengadilan internasional telah memutuskan siapa yang bertanggung jawab langsung dan tidak langsung atas tragedi yang mengakibatkan meninggalnya 298 orang ini.
“Sampai sekarang, seperti tradisi yang mereka miliki, Federasi Rusia tidak pernah meminta maaf kepada siapa pun. Kepada negara manapun di dunia, yang warganya terbunuh dalam tindakan teroris ini. Mereka tidak meminta maaf sampai sekarang,” ujarnya.
Serangan Rudal ke MH17
Krisis Rusia-Ukraina sebenarnya telah berlangsung sejak 2014, tetapi wilayah udara Ukraina masih dianggap aman sehingga penerbangan MH17 rute Amsterdam-Kuala Lumpur tetap melewatinya. Pesawat itu terbang dari Bandara Schiphol, Amsterdam, Kamis, 17 Juli 2014 pukul 10.31 GMT, dalam penerbangan selama 12 jam.
Rute tersebut sebenarnya biasa dilewati maskapai tersebut, tetapi situasi pada Juli 2014 sangat berbeda. Pasukan separatis pro-Rusia menguasai Ukraina Timur, seperti Krimea dan Donetsk. Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO), menetapkan ketinggian aman 32 ribu kaki agar pesawat sipil bebas dari ancaman rudal.
Sekitar pukul 13.20 GMT, MH17 hilang dari radar di atas kota Donetsk.
Belanda dan Australia, dua negara yang warganya paling banyak meninggal pada jatuhnya MH17, melakukan investigasi atas peristiwa ini. Pada 2018, tim mengumumkan empat nama yang diduga bertanggung jawab, yaitu Igor Girkin, Sergei Dubinsky, Oleg Pulatov, dan Leonid Kharchenko. Keempatnya adalah pelaku pemindahan rudal ke Ukraina Timur dan pihak yang melakukan penembakan ke MH17. Tidak lama setelah jatuhnya MH17, milisi yang didukung Rusia memang menyatakan berhasil menembak pesawat Antonov, yang diduga milik Ukraina.
Pada 15 Maret 2022 lalu, Belanda dan Australia mengumumkan upaya hukum mereka terhadap Rusia ke Organisasi Penerbangan Sipil Internasional
Pertanyakan Sikap Netral
Tragedi ini, juga digunakan Hamianin untuk meluruskan pendapat masyarakat Indonesia, bahwa perang Ukraina baru berlangsung lima bulan. Ketika penembakan MH17 terjadi, kedua negara sebenarnya telah terlibat perang. Rusia, ketika itu menduduki kawasan Krimea dan Donetsk. Bahkan, Hamianin menyebut, perang kedua negara sudah berlansung beberapa abad.
Menjawab sejumlah peserta acara ini, Hamianin tegas mempertanyakan bagaimana Indonesia memaknai sikap netral dalam perang ini.
“Sampai sekarang, saya tidak membaca di sumber manapun, kata-kata yang mengutuk tindakan terorisme terhadap warga sipil, terhadap anak-anak yang dilakukan oleh pemerintah Federasi Rusia. Dalam pernyataan resmi pemerintah Indonesia. Tidak ada pernyataan resmi mengenai kutukan atas kejahatan perang,” kata dia.
Hamianin juga meminta masyarakat Indonesia, menggunakan istilah yang tepat. Dia tidak setuju istilah krisis di Krimea, operasi militer khusus yang dilakukan Rusia, ataupun konflik Ukraina-Rusia. Yang terjadi, menurutnya adalah agresi.
“Sangat penting untuk tidak menggunakan definisi yang dipaksakan oleh negara agresor,” ujarnya.
Dia bahkan menegaskan, istilah perang di Ukraina juga tepat, karena yang terjadi adalah agresi militer Rusia ke Ukraina.
Hamianin meminta semua pihak untuk menjadi manusia, karena sikap netral cukup susah didefinisikan di tengah agresi ini.
“Jika kita melihat serangan rudal di sekolah, ke rumah bersalin, ke taman kanak-kanak dan kita melihat anak-anak terbunuh dalam jumlah ratusan, saya akan mengharapkan kata-kata sebagai sesama manusia, untuk mengutuk kejahatan perang. Kejahatan perang yang kejam terhadap kemanusiaan,” tegasnya.
Kutuk Ancaman Kemanusiaan
UII mengundang Duta Besar Ukraina untuk Indonesia berbicara di depan civitas akademikanya, untuk memberi ruang diskusi dan pengamatan dari dalam terkait apa yang terjadi di Ukraina.
Rektor UII, Prof Fathul Wahid menyebut, Indonesia telah menjalin hubungan baik dengan Ukraina sejak tahun 1992, Negara itu adalah salah satu mitra strategis, di mana kerjasama Indonesia-Ukraina di bidang ekonomi meningkat dengan cepat.
“Namun situasi saat ini di Ukraina, adalah fenomena krisis kemanusiaan yang seharusnya tidak terjadi,” kata Wahid.
UII melihat, kunjungan presiden Joko Widodo ke Ukraina beberapa waktu lalu, adalah tanda komitmen Indonesia menjaga perdamaian dunia. Indonesia sedang berusaha aktif turut mencari proyeksi akhir dari konflik ini.
“Dunia harus mengutuk setiap tindakan yang mengancam kemanusiaan. Seperti juga Indonesia, UII juga berkomitmen untuk mendukung upaya perdamaian dunia,” lanjut Wahid. [ns/ab]
Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.