Bukan hanya sekali, menemui layanan birokrasi yang berbelit adalah pengalaman biasa bagi Haye, pegiat di Yayasan Kebaya Yogyakarta. Yayasan yang sekaligus menjadi rumah aman bagi waria dan ODHA ini, kerap menjadi tujuan bagi mereka yang tersisih dari keluarga dan lingkungan. Karena itu, menjadi salah satu tugas Haye untuk melakukan pendampingan, ketika waria atau ODHA itu membutuhkan layanan kesehatan. Persoalan muncul karena birokrasi sering tidak ramah oleh syarat yang kurang seperti ketiadaan Kartu Tanda Penduduk (KTP).
“Ternyata untuk akses kesehatan, KTP itu perlu. Lha mereka yang kemungkinan lupa, mau minta minta pada siapa? Karena sudah disingkirkan dari keluarga, sehingga saat dia sakit, saat dia membutuhkan layanan kesehatan, tidak punya akses yang digunakan sehingga mau tidak mau kan kita menggunakan jaminan yang ada di Yogyakarta,” ujar Haye pada VOA.
Haye bercerita, anak-anak jalanan atau mereka yang menjadi kelompok rentan dari luar Yogya yang mengalami diskriminasi dan diusir dari keluarga adalah dampingan sehari-harinya. Biasanya, karena kasus pengusiran semacam itu tidak ada dokumen kependudukan yang sempat mereka bawa ke Yogya.
“Untuk akaes layanan kesehatan di Yogyakarta pun harus mempersyaratkan ber-KTP. Ternyata mereka tidak mempunyai KTP, sehingga kita harus jadikan dia sebagai orang terlantar. Dengan membawa surat saktinya dari kepolisian, otomatis dia bisa mengakses layanan. Jadi, saya menyiasatinya seperti itu,” ucapnya.
Dalam kasus berbeda, problem juga bisa muncul karena sikap penyedia layanan. Misalnya, kewajiban untuk memindah fasilitas kesehatan dalam skema Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, jika seseorang pindah domisili. Karena kendala tertentu, tidak semua warga kelompok rentan ini mudah mengikuti proses itu. Sayangnya, seringkali petugas yang disediakan BPJS Kesehatan di lapangan tidak memberikan respons sebagaimana mestinya.
“Saya sampai marah-marah, karena petugasnya hanya main HP dan tidak kasih solusi,” kata dia.
Mengakses Layanan yang Jauh
Di kalangan ODHA, ada kebiasaan yang dilakukan dalam akses layanan kesehatan, yaitu memilik fasilitas kesehatan yang justru jauh dari lokasi tempat tinggalnya. Jossy dari Pita Merah kepada VOA mengatakan pilihan itu diambil untuk menghadirkan rasa aman dan nyaman. Pita Merah adalah sekelompok relawan dan aktivis yang konsen dalam isu-isu HIV-AIDS di Yogyakarta.
“Itu untuk menghindari diskriminasi warga sekitar bahwa dia itu punya virus HIV dalam tubuhnya. Karena masyarakat sendiri tingkat stigma dan diskriminasinya masih tinggi. Dari segi kenyamanan, bagaimana mereka mengakses ARV jauh dari tempat tinggalnya, padahal di dekatnya ada fasilitas kesehatan yang bisa digunakan untuk akses ARV tersebut,” ujar dia.
ARV adalah terapi yang diberikan kepada ODHA dengan obat yang disediakan gratis oleh negara.
ODHA memang didorong untuk menjadi peserta BPJS, karena akan membantunya ketika membutuhkan layanan kesehatan. Pada praktiknya, menurut Jossy, ODHA juga mempertimbangkan faktor kenyamanan ketika mengakses layanan dari lembaga ini. Sejumlah petugas diakui cukup ramah, tetapi masih banyak juga yang justru arogan.
Di fasilitas kesehatan, seperti Puskesmas atau rumah sakit, faktor petugas kesehatan juga berpengaruh.
“Teman-teman butuh kenyamanan, jadi ada faktor SDM juga. Kadang ada Puskesmas yang ruang periksanya, tidak sesuai seperti yang diinginkan. Jadi, waktu kita ngobrol dengan dokter, pasien lain bisa mendengar. Jadi itu yang dikhawatirkan teman-teman ODHA,” tutut Jossy.
Jossy sendiri memiliki pengalaman serupa. Dokter berbicara terlalu keras di ruang periksa yang terbuka.
“Otomatis orang lain tahu. Itu yang dihindari, karena rekam medis itu harusnya yang tahu cuma pasien dan petugas layanan,” tambahnya.
Butuh Penyelesaian Menyeluruh
Jaringan Advokasi HIV AIDS (JAVA) Daerah Istimewa Yogyakarta, pada Kamis (21/7), menyelenggarakan Pertemuan Multi-Stakeholders bertema Optimalisasi Layanan Jaminan Kesehatan bagi ODHIV. JAVA, adalah lembaga yang memiliki komitmen mendukung upaya pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS serta mengedepankan pemenuhan hak ODHA.
JAVA, dan sejumlah lembaga menggunakan istilah ODHIV, dan bukan ODHA untuk menyebut Orang dengan HIV/AIDS. Menurut lembaga ini, istilah ODHIV lebih berdaya dan memberikan semangat untuk menjalani kehidupan. Istilah ODHIV juga merupakan bentuk perjuangan mereka dalam literasi. ODHIV mewakili mereka yang berada dalam fase HIV, dan belum tentu masuk pada fase AIDS. Meski mereka juga mengakui hingga saat ini penyebutan ODHA juga masih dipakai.
Agus Triyanto dari JAVA menyebut kasus HIV dan AIDS semakin meningkat. Kondisi ini membutuhkan perhatian, terutama para ODHA yang sudah melakukan terapi ARV dan yang tengah menjalani pengobatan Infeksi Oportunistik (IO) atau penyakit penyerta.
Menurut Agus, ada beberapa persoalan mengemuka saat ini, seperti kebijakan yang sering berbeda antara satu layanan dan layanan yang lain, kebijakan BPJS atau rumah sakit yang cepat kali mengalami perubahan, kasus rujuk internal maupun rujuk ke layanan berjenjang yang mengalami kendala, dan sejenisnya.
“Sementara ODHA harus patuh terapi ARV seumur hidup agar memperoleh kualitas kesehatan yang baik. Jangan sampai persoalan yang terjadi menjadi kendala yang dapat memutus kepatuhan ODHA dalam terapi ARV,” ujarnya.
Problem Birokasi dan Aturan
Bagi pemegang kartu BPJS Kesehatan Penerima Bantuan Iuran (PBI), persoalan di layanan kesehatan kadang memang tidak mudah. PBI adalah skema, di mana pemerintah, baik itu pusat ataupun daerah, membayarkan iuran kepesertaan seseorang karena dinilai layak menerima bantuan tersebut.
Persoalan sering muncul karena perpindahan lokasi layanan antar daerah, bisa bermakna perpindahan pihak yang membayar iuran itu sendiri. Dalam kasus seperti ini, menurut dr Eko Purboyono dari BPJS Kesehatan Kantor Cabang Yogyakarta, lembaganya mengikuti keputusan setiap daerah.
“Kita mengikuti saja dari masing-masing pemerintah di daerah itu, kita ikuti saja. Kalau boleh, ya boleh. Ini kebijakan di masing-masing pemerintah daerah selaku yang membayari karena mereka yang memiliki hak,” kata Eko.
Pada kasus semacam inilah, warga kelompok rentan seperti waria atau ODHA, yang mencari layanan ke Yogyakarta, tidak dapat masuk dalam skema BPJS Kesehatan, karena faktor pembayar iuran.
Persoalan lain yang sering muncul juga adalah bagi kelompok rentan yang menjadi peserta BPJK Kesehatan melalui skema PBI dari pemerintah pusat. Seseorang yang bulan sebelumnya masuk dalam daftar, bisa saja bulan depan tidak lagi masuk. Karena perubahan status ini, warga kelompok rentan bisa saja baru tahu bahwa kartu BPJS Kesehatannya tidak berlaku lagi, ketika berada di klinik dokter, Puskesmas atau rumah sakit.
Ismi Sulistiani dari Dinas Sosial DI Yogyakarta menyebut penetapan seseorang menerima bantuan iuran berada di Kementerian Sosial.
“Menurut data secara nasional, setiap bulan itu selalu ada updating data. Dari bulan Januari sampai Juni selalu ada SK Menteri Sosial terkait dengan penetapan, apakah bertambah atau berkurang. Data yang ada di kami misalnya, Januari PBI di DIY berkurang sekitar 30 ribuan orang, ini cukup banyak,” kata Ismi.
Tentu, akan sangat memprihatinkan, jika di dalam daftar 30 ribu orang di DI Yogyakarta yang dihapus dari daftar penerima bantuan iuran BPJS Kesehatan itu, terdapat waria atau ODHA yang justru sangat membutuhkan.
Kondisi Yogyakarta
Yogyakarta sendiri mengalami tren naik-turun dalam kasus HIV-AIDS, sesuai catatan Dinas Kesehatan setempat. Dalam sebelas tahun terakhir, 2016 menyumbang kasus HIV tertinggi mencapai 616 kasus, sementara terendah pada 2011 dengan 306 kasus. Sementara kasus AIDS tertinggi pada 2012 dengan 227 kasus dan terendah pada 2017 dengan 61 kasus. Tahun ini hingga Maret, DI Yogyakarta mencatatkan 104 kasus HIV dan 25 kasus AIDS.
“Data kasus HIV dan Adis Dinas Kesehatan DI Yogyakarta, jumlah kumulatif kasus di DIY dari tahun 1993 sampai Maret 2022, HIV 6.058 kasus dan AIDS 1.931 kasus. Ini kasus kumulatif karena kalau sudah terinfeksi kan otomatis masuk dalam data terus,” kata dr Dwi Hikmah, dari Dinas Kesehatan DI Yogyakarta.
Berdasarkan faktor resiko, tiga kasus tertinggi di Yogyakarta ditemukan pada kelompok heteroseksual dengan 54 persen, homoseksual 19 persen dan jarum suntik 5 persen. Pada sisi kelompok umur, kasus tertinggi HIV di usia produktif 20-29 tahun sebanyak 1.885 kasus dan 30-29 tahun sebanyak 1.782 kasus. [ns/ab]
Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.