Lebah Tunjukkan Tanda-Tanda Stres Karena Perubahan Iklim

Koleksi serangga di National History Museum di London digunakan para peneliti untuk mempelajari kadar stres hewan tersebut dari waktu ke waktu. Para peneliti mengatakan bentuk asimetri tubuh, khususnya sayap mereka, merupakan indikator yang baik dalam mengukur kadar stres pada hewan serangga. Setelah membandingkan evolusi asimetri itu dengan data cuaca, para peneliti dapat menarik sejumlah kesimpulan.

Aoife Cantwell-Jones, mahasiswa doktoral di Imperial College London, salah seorang penulis bersama penelitian ini, mengemukakan,”Tampaknya pada tahun-tahun yang secara umum lebih panas dan sedikit lebih basah, kami mendapati sayap itu lebih berbeda pada lebah yang sama. Jadi ini bisa menjadi indikator bahwa lebah mungkin mengalami tekanan cukup besar dalam tahun-tahun itu.”

Spesimen ratu lebah Franklin dan lebah lainnya di departemen biologi lebah Universitas California Davis di Davis, California, Kamis, 16 Agustus 2007. (AP/Steve Yeater)

Spesimen ratu lebah Franklin dan lebah lainnya di departemen biologi lebah Universitas California Davis di Davis, California, Kamis, 16 Agustus 2007. (AP/Steve Yeater)

Spesimen lebah yang diteliti berasal dari tahun 1900 hingga 2000. Para peneliti mendapati bahwa pada paruh akhir abad ke-20 ada peningkatan bukti mengenai stress tersebut. Selain menunjukkan tren pada abad ke-20, penelitian ini juga dapat memprediksi masa depan.

Cantwell-Jones menambahkan, “Kita harus berhati-hati untuk tidak melakukan ekstrapolasi terlalu banyak karena tentu saja mungkin ada hal-hal lain yang berkontribusi pada perbedaan bentuk. Tetapi mengingat perubahan iklim dan kami perkirakan cuaca akan lebih panas, saya pikir kita bisa merasa lebih khawatir mengenai keadaan lebah-lebah ini pada masa depan.”

Lebah sangat penting bagi ekosistem kita karena mereka berperan dalam penyerbukan. Menurut Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO), sepertiga produksi pangan dunia tergantung pada lebah, dan populasi mereka telah berkurang selama lebih dari satu dekade ini.

Para ilmuwan menyalahkan ini pada serangkaian faktor, termasuk insektisida yang disebut neonikotinoid, parasit, penyakit, perubahan iklim dan kurangnya pasokan pangan yang beragam.

Penelitian kedua menganalisis DNA lebih dari 100 ekor lebah dengan menggunakan teknologi terbaru untuk pertama kalinya.

Dr Richard J. Gill,dosen senior di Imperial College London dan kepala peneliti pada proyek riset lebah mengatakan, pada penelitian sebelumnya mereka mengambil sejumlah DNA dari lebah. Tetapi metode ini hanya dapat mengambil sedikit sekali bagian DNA dan hanya sebagian kecil saja dari genome. Dengan teknik baru, peneliti dapat mengekstrasi sedikitnya 40 hingga 50 persen genom.

Sukarelawan Shaina Helsel, bersiap menangkap lebah di sebuah lapangan di Togus, Maine, 10 Juli 2015. (AP /Robert F. Bukaty)

Sukarelawan Shaina Helsel, bersiap menangkap lebah di sebuah lapangan di Togus, Maine, 10 Juli 2015. (AP /Robert F. Bukaty)

Ia menambahkan,”Ini memberi gambaran lebih besar mengenai apa yang kita sebut marker atau penanda di seluruh genom yang dapat kita gunakan untuk memahami apakah keragaman berubah.”

Metode yang mereka gunakan untuk membuat sekuensi genom lebah biasanya digunakan untuk mamut dan manusia purba.

Penelitian ini digunakan terhadap spesimen yang berasal dari jaringan museum Inggris, termasuk Natural History Museum, yang memiliki koleksi terbesar.
Hasil kedua penelitian itu diterbitkan 18 Agustus lalu di Journal of Animal Ecology dan Methods in Ecology & Evolution. [uh/ab]

Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.

Tinggalkan Balasan