Panen Raya Dibayangi Rencana Revisi PP Pertembakauan

Di tengah kesejukan lereng Gunung Sindoro, Lasno, petani tembakau di Temanggung, Jawa Tengah tekun merawat tanamannya. Daun-daun lebar itu siap dipanen pekan depan. Lasno menanam dan merawat tembakau di lahan pada ketinggian 1.800 di atas permukaan laut itu, sejak Maret 2022 lalu.

Sayangnya, kegembiraan menanti panen itu dibayang-bayangi harga jual yang rendah.

“Paling cuma laku Rp25 ribu, paling tinggi Rp50 ribu, untuk satu kilo yang sudah dipotong dan dikeringkan. Petani yang masih bisa menjual tembakau Rp50 ribu sekilo itu sudah sangat jarang. Padahal kalau mau disebut untung, sekilo seharusnya harganya paling tidak Rp70 ribu,” ujarnya kepada VOA, Rabu (10/8).

Lasno, petani di Temanggung, Jawa Tengah di kebun tembakau yang akan segera dipanen. (Foto: VOA/Nurhadi)

Lasno, petani di Temanggung, Jawa Tengah di kebun tembakau yang akan segera dipanen. (Foto: VOA/Nurhadi)

Beberapa tahun terakhir, kata Lasno, harga tembakau memang turun drastis. Meski begitu, tidak mudah bagi Lasno untuk berpindah tanaman.

“Saya sendiri sudah sejak muda tanam tembakau, jadi di daerah sini, meski harganya anjlok, menanam tembakau itu tetap seperti harus,” tambahnya.

Menurut Kementerian Pertanian, Temanggung adalah daerah penghasil tembakau terbaik di Indonesia, diikuti Deli di Sumatera Utara, Lombok di NTB, dan Madura serta Jember di Jawa Timur. Badan Pusat Statistik mencatat, produksi tembakau Indonesia 2021 mencapai 236,9 ribu ton. Berturut-turut, lima provinsi penghasil tembakau terbanyak adalah Jawa Timur (110,8 ribu ton), Jawa Tengah (57,6 ribu ton), Nusa Tenggara Barat (53,1 ribu ton), Jawa Barat (7,4 ribu ton) dan Aceh (2,1 ribu ton).

Petani mengeluhkan harga tembakau yang rendah, dan rencana revisi PP 109/2012 oleh pemerintah. (Foto: VOA/Nurhadi)

Petani mengeluhkan harga tembakau yang rendah, dan rencana revisi PP 109/2012 oleh pemerintah. (Foto: VOA/Nurhadi)

Protes Rencana Revisi Aturan

Salah satu isu paling krusial di sektor pertembakauan adalah rencana pemerintah merevisi Peraturan Pemerintah (PP) 109/2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan.

Kementerian Kesehatan telah mencatat sejumlah hal yang perlu diubah, antara lain ukuran pesan bergambar pada kemasan rokok diperbesar, penggunaan rokok elektrik diatur, iklan, promosi, sponsorship diperketat, penjualan rokok batangan dilarang, dan pengawasan ditingkatkan.

Rencana itu dikhawatirkan semakin menekan penjualan rokok, sebagai produk yang paling banyak menyerap tembakau petani.

APTI mencatat, 80 persen hasil panen tembakau diserap pabrik rokok dan sisanya diperdagangkan masyarakat. (Foto: VOA/Nurhadi)

APTI mencatat, 80 persen hasil panen tembakau diserap pabrik rokok dan sisanya diperdagangkan masyarakat. (Foto: VOA/Nurhadi)

Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional (DPN) Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI), Agus Parmuji kepada VOA mengatakan, sejak awal mereka telah menolak PP 109/2012.

“PP 109/2012 itu sebenarnya kelahirannya pada 2012 itu tidak kita inginkan, karena konstruksi pasal-pasalnya ini sangat menukik untuk mengendalikan peredaran produk dari tembakau, produksi rokoknya. Padahal sampai saat ini pertanian tembakau ini masih diserap industri rokok nasional,” kata Agus, Kamis (11/8).

Meskipun pemerintah menyatakan bahwa yang dikendalikan adalah produk rokok, tembakau menerima dampak sama besarnya. Begitu PP tersebut keluar, pertanian tembakau merosot dari sisi penyerapan pasar hingga harga.

“Konstruksi pasal-pasalnya sudah tidak berperikemanusian, tetapi mau direvisi lebih tajam lagi tentang pengendaliannya. Ketika lebih tajam dan diperketat melalui revisi ini, maka akan lebih mematikan lagi bagi keberlangsungan petani tembakau,” tambah Agus.

Akhir Juli lalu, APTI diundang Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan dalam uji publik revisi PP tersebut. Perwakilan petani tembakau memilih keluar dari uji publik, karena merasa pertemuan tersebut tidak memberi ruang bermusyawarah. Secara resmi, APTI mengirim surat kepada pemerintah, berisi tuntutan pembatalan rencana revisi PP 109/2012.

Gunung Sindoro di Jawa Tengah merupakan salah satu pusat budidaya tembakau. (Foto: VOA/Nurhadi)

Gunung Sindoro di Jawa Tengah merupakan salah satu pusat budidaya tembakau. (Foto: VOA/Nurhadi)

Agus mengingatkan, Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) yang diadopsi dalam aturan hukum di Indonesia, tidak adaptif di Indonesia. Banyak negara mengendalikan rokok, tetapi tidak berdampak besar karena mereka tidak memiliki pertanian tembakau.

“Indonesia berbeda. Di sini ada petani tembakau, petani cengkeh, ada buruh pabrik rokok. Dalam satu batang rokok, itu bergantung kehidupan dari profesi yang aneka ragam,” tandasnya.

“Revisi ini adalah dorongan untuk mematikan tembakau, karena yang dibatasi produk jadinya. Ketika industrinya dipotong, industri yang menyerap hasil buddidaya kami itu ditekan, maka akan berimbas ke bahan baku. Ini mematikan petani tembakau,” kata Agus lagi.

Padahal, belum ada sektor industri lain yang menyerap tembakau hasil petani. Sejauh ini, delapan puluh persen tembakau diserap pabrik rokok, sementara sisanya berada dalam lingkaran konsumsi sendiri, yang biasanya diperjualbelikan dalam bentuk rajangan.

“Setahu kami, di anggota kami di Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, semuanya, belum ada industri farmasi atau industri lain yang membeli daun tembakau ataupun tembakau rajangan,” tandas Agus.

Berkutat di Regulasi Tembakau

Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo mengakui tembakau diliputi masalah berulang setiap masa panen. Petani berharap hasil panennya diserap industri rokok, sementara industri sejauh ini berkutat dengan sejumlah regulasi, terutama cukai. Seluruh pihak, kata Ganjar, harus duduk bersama mencari jalan keluar.

Masyarakat Giripurno, Kabupaten Temanggung, menggelar Wiwitan Tembakau yang menandai masa panen raya bersama Ganjar Pranowo, Selasa (9/8). (Foto: Humas Jateng)

Masyarakat Giripurno, Kabupaten Temanggung, menggelar Wiwitan Tembakau yang menandai masa panen raya bersama Ganjar Pranowo, Selasa (9/8). (Foto: Humas Jateng)

“Ada Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang tembakau, selalu biasanya ramai kebijakan cukai. Ini yang menurut saya, antara pembuat kebijakan, kemudian di hulu ada petani, di tengahnya ada industri, musti duduk bareng,” kata Ganjar Selasa (9/8) di Temanggung, Jawa Tengah.

Tembakau, lanjut Ganjar, sudah ditanam ratusan tahun di Indonesia. Perubahan besar terjadi ketika isu kesehatan mulai mengemuka. Namun di sisi lain, perusahaan rokok Indonesia justru diambil alih oleh perusahaan asing, dan masih memproduksi rokok. Sektor ini juga semakin pelik, dengan masuknya kretek impor.

Karena itulah, seluruh pelaku sektor pertembakauan harus memahami perubahan politik rokok dunia. Ganjar menyebut, seharusnya Indonesia memiliki pusat pertembakauan skala global.

Bupati Temanggung, HM Al Khadziq, memercikkan air ke rigen dalam doa bersama ribuan petani tembakau, Minggu (7/8) di kawasan Kledung. Rigen adalah tempat menjemur tembakau. (Foto: Humas Temanggung)

Bupati Temanggung, HM Al Khadziq, memercikkan air ke rigen dalam doa bersama ribuan petani tembakau, Minggu (7/8) di kawasan Kledung. Rigen adalah tempat menjemur tembakau. (Foto: Humas Temanggung)

“Perlu tobacco centre, kita perlu riset mulai dari benih, pengembangannya, jenisnya, tanamnya, produktivitasnya. Kalau perlu tempat lelang tembakau dunia itu dikuasai kita. Itu baru kita hebat. Tidak harus kita pakai sendiri tembakaunya, tetapi pangsa dunia yang bagus bisa kita gunakan,” tambahnya.

“Mungkin kita tidak menggunakan semua tembakau kita, tetapi ketika negara lain menggunakan kenapa tidak kita yang suplai, bukan kita yang impor. Di balik politiknya,” ujarnya lagi.

Khawatirkan Perokok Anak

Kementerian Kesehatan sendiri tegas meminta adanya revisi terhadap PP tersebut karena belum cukup efektif menurunkan perokok anak.

“Perlu adanya penyempurnaan perlindungan terhadap generasi muda dan anak-anak dari bahaya merokok,” kata Wakil Menteri Kesehatan dr. Dante Saksono Harbuwono dalam pernyataan resmi kementerian.

Kemenkes memandang, PP 109/2012 tidak lagi sesuai dengan perkembangan zaman karena iklan, promosi, dan sponsor produk rokok makin marak di berbagai media. Selain itu, bentuk-bentuk rokok lain seperti rokok elektrik belum diatur dalam PP tersebut.

Kementerian Kesehatan juga mencatat, penjualan rokok masih terus meningkat, begitu juga jumlah konsumsi rokok, perokok anak, dan kematian akibat merokok. Data menyebut, penjualan rokok pada 2021 meningkat 7,2 persen dari tahun 2020, dari 276,2 miliar batang menjadi 296,2 miliar batang. Fakta lain yang mengkhawatirkan, konsumsi rokok adalah 70,2 juta orang dewasa, dan penggunaan rokok elektrik meningkat 10 kali lipat dari 0,3 persen di tahun 2011 menjadi 3 persen di tahun 2021.

Bupati Boyolali, M Said Hidayat (tengah) memimpin tradisi Tungguk Tembakau di Desa Senden lereng Gunung Merbabu, Kamis (4/8), sebagai rasa syukur mengawali panen tembakau tahun ini. (Foto: Humas Boyolali)

Bupati Boyolali, M Said Hidayat (tengah) memimpin tradisi Tungguk Tembakau di Desa Senden lereng Gunung Merbabu, Kamis (4/8), sebagai rasa syukur mengawali panen tembakau tahun ini. (Foto: Humas Boyolali)

“Yang lebih mengkhawatirkan adalah jumlah perokok anak ikut meningkat. Berdasarkan data Global Youth Tobacco Survey, Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), dan Sentra Informasi Keracunan Nasional (Sikernas) dari BPOM menyebutkan ada 3 dari 4 orang mulai merokok di usia kurang dari 20 tahun,” tambah Dante.

Prevalensi perokok anak juga terus naik setiap tahunnya. Pada 2013 angkanya 7,2 persen, naik menjadi 8,8 persen pada 2016, dan 9,1 persen pada 2018 serta 10,7 persen tahun 2019. Jika tidak dikendalikan, prevalensi perokok anak akan meningkat hingga 16 persen di 2030.

Bappenas memperkirakan, prevalensi perokok pemula, khususnya anak-anak dan usia remaja, akan terus mengalami kenaikan jika pemerintah tidak membuat kebijakan komprehensif menekan angka tersebut. [ns/ab]

Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.

Tinggalkan Balasan