Ratusan orang tewas di Afghanistan sejak Taliban menyerbu negara itu hampir setahun yang lalu, meskipun keamanan secara keseluruhan telah meningkat sejak itu, kata PBB dalam sebuah laporannya, Rabu (20/7).
Dalam laporannya tersebut, Misi Bantuan PBB di Afghanistan juga menyoroti situasi buruk perempuan dan anak perempuan sejak pengambilalihan Taliban dan bagaimana hak-hak mereka direnggut di bawah penguasa Afghanistan saat ini.
“Saat ini seharusnya semua warga Afghanistan dapat hidup damai dan membangun kembali kehidupan mereka setelah 20 tahun konflik bersenjata. Pemantauan kami mengungkapkan bahwa meskipun situasi keamanan membaik sejak 15 Agustus, orang-orang Afghanistan, khususnya perempuan dan anak perempuan, tidak dapat menikmati sepenuhnya hak-hak mereka,” kata Markus Potzel, wakil khusus Sekjen PBB untuk Afghanistan.
Laporan itu mengatakan sebanyak 700 orang tewas dan 1.400 terluka sejak pertengahan Agustus 2021, ketika Taliban menyerbu ibu kota Afghanistan, Kabul, pada waktu Amerika Serikat dan NATO berada dalam pekan-pekan terakhir penarikan pasukan mereka dari negara itu.
Mayoritas dari korban tersebut terkait dengan serangan afiliasi ISIS di negara itu, saingan berat Taliban yang menarget komunitas-komunitas minoritas etnis dan agama di tempat-tempat di mana mereka bersekolah, beribadah dan menjalani kehidupan sehari-hari.
Setelah mengambil alih kekuasaan, Taliban dengan cepat mulai memberlakukan kebijakan-kebijakan yang lebih keras, yang mengingatkan kembali pada tindakan-tindakan radikal serupa ketika Taliban terakhir memerintah negara itu, dari tahun 1996 hingga 2001.
Mereka mengeluarkan dekrit yang mengharuskan perempuan untuk menutupi wajah mereka kecuali mata di depan umum, termasuk presenter perempuan di TV, dan melarang anak perempuan bersekolah setelah kelas enam.
Laporan PBB menambahkan bahwa erosi hak-hak perempuan telah menjadi salah satu aspek yang paling menonjol dari pemerintahan de facto hingga saat ini.
Sejak Agustus, Taliban membatasi dan dalam banyak kasus bahkan mencabut sama sekali, hak-hak perempuan dan anak perempuan untuk berpartisipasi penuh dalam pendidikan, tempat kerja dan aspek lain dari kehidupan publik.
Keputusan untuk tidak mengizinkan anak perempuan kembali ke sekolah menengah berarti bahwa satu generasi anak perempuan tidak akan menyelesaikan 12 tahun penuh pendidikan dasar mereka, kata PBB.
“Pendidikan dan partisipasi perempuan dan anak perempuan dalam kehidupan publik adalah fundamental bagi setiap masyarakat modern. Membatasi perempuan dan anak perempuan sama artinya dengan mengabaikan manfaat dari kontribusi signifikan yang bisa mereka tawarkan. Pendidikan untuk semua bukan hanya hak asasi manusia, tapi juga kunci kemajuan dan pembangunan suatu bangsa,” kata Potzel. [ab/uh]
Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.