Pedagang Makanan Kaki Lima di Kota New York Berjuang untuk Bertahan di Tengah Inflasi Tinggi

“Jika Anda berkunjung ke Amerika, kami dikenal karena makanannya. Kami mencintai kuliner kami.” Demikian kata Benjamin Nansong, salah seorang warga kota New York.

Hanya sedikit tempat lain yang bisa menyamai keragaman kuliner kota New York dengan restoran dan berbagai jajanan kaki limanya di hampir setiap sudut.

Namun kini inflasi dunia telah memicu lonjakan harga pangan di salah satu kota termahal di dunia itu.

“Harga empanada naik dari yang sebelumnya cuma tiga dolar menjadi tiba-tiba empat setengah dolar. Sungguh gila, ini tidak masuk akal,” ujar Silbert Gray, penduduk New York lainnya.

Truk makanan Long Island City terlihat di bagian Long Island City di wilayah Queens, New York, AS, 14 Februari 2019. (Foto: REUTERS/Shannon Stapleton)

Truk makanan Long Island City terlihat di bagian Long Island City di wilayah Queens, New York, AS, 14 Februari 2019. (Foto: REUTERS/Shannon Stapleton)

Menurut Indeks Harga Konsumen Departemen Pertanian AS, harga pangan naik 10 persen dalam setahun terakhir, dengan tingtat inflasi yang mencapai rekor tertinggi dalam 40 tahun terakhir. Para pedagang makanan di kota New York, seperti truk makanan (food truck) El Toro Rojo, sudah menaikkan harga menu mereka.

“Kami cukup khawatir, karena kami tidak ingin kehilangan pelanggan setia kami selama lima tahun terakhir, jadi kami harus berpikir tiga kali sebelum akhirnya menaikkan harga,” kata Dennis Apreza, sang pemilik truk.

Sejak Oktober 2021 hingga Juni lalu, pemilik truk makanan El Toro Rojo telah menaikkan harga satu buah burrito sebesar satu setengah dolar, menjadi $13,5 (sekitar Rp200 ribu). Dan bisa jadi harganya akan naik lagi.

“Setiap produk yang Anda beli dan Anda konsumsi dalam bentuk makanan pasti melalui serangkaian perjalanan kapal, truk, kereta. Mereka tidak tiba-tiba muncul di dapur Anda,” tutur Mark A. Cohen, Direktur Studi Ritel dari Universitas Columbia.

Harga bahan bakar diesel untuk mengangkut barang telah naik 66 persen dalam setahun belakangan.

“Ini bukan inflasi yang disebabkan oleh Biden, ini bukan inflasi yang disebabkan oleh Putin. Inflasi ini terutama disebabkan oleh pandemi COVID-19,” jelas Mark A. Cohen.

Dennis Apreza mengaku bisnis food truck-nya secara keseluruhan turun 15 persen sejak terjadinya pandemi, padahal upah pegawai, pajak dan harga-harga lainnya naik. Ia berusaha memangkas ongkos usahanya dengan mengurangi porsi makanan, memasok bahan persediaan lebih sedikit, melayani acara-acara yang lebih besar.

Jorge, seorang imigran dari Meksiko, berpakaian sebagai karakter Sesame Street Elmo, menukar tipnya dengan uang kertas yang lebih besar dari penjual mobil makanan jalanan di Times Square, New York, 30 Juli 2014. (Foto: REUTERS/Eduardo Munoz)

Jorge, seorang imigran dari Meksiko, berpakaian sebagai karakter Sesame Street Elmo, menukar tipnya dengan uang kertas yang lebih besar dari penjual mobil makanan jalanan di Times Square, New York, 30 Juli 2014. (Foto: REUTERS/Eduardo Munoz)

“Alih-alih memasok berbagai bahan lewat distributor pihak ketiga, kini kami memilih bangun jam tiga atau empat dini hari untuk membeli bahan-bahan segar langsung dari pasar untuk memastikan kami mendapatkan harga pasar yang paling bersaing,” tambahnya.

Para pakar menyebut lockdown akibat COVID di seluruh dunia mengganggu rantai pasok dan permintaan, sementara perang Rusia di Ukraina memperburuk masalah yang dihadapi bisnis-bisnis seperti food truck milik Dennis.

Pada 16 Agustus lalu, Presiden AS Joe Biden menandatangani UU Pengurangan Inflasi 2022 untuk menurunkan harga obat, layanan kesehatan dan ongkos energi. Namun penelitian Universitas Pennsylvania menyatakan bahwa penerapan undang-undang itu hanya akan mengurangi tingkat inflasi tahunan 0,1 persen dalam lima tahun.

“Kita sepertinya harus menghadapi ini semua sampai tahun depan atau dua tahun lagi, sampai harga-harga mulai kembali stabil,” kata Mark Cohen.

Beberapa pakar menilai, seiring naiknya ongkos untuk makan di restoran, pedagang kaki lima seperti truk makanan El Toro Rojo bisa jadi diuntungkan karena konsumen lebih memilih membeli makanan cepat saji. [rd/jm]

Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.

Tinggalkan Balasan