Pemerintah Belum Rencanakan Pemberian Vaksin COVID-19 Dosis 4

Juru Bicara Kementerian Kesehatan Muhammad Syahril menegaskan pemerintah belum akan menerapkan program pemberian vaksin COVID-19 booster kedua atau dosis keempat meskipun kasus virus corona di Tanah Air mulai melonjak akibat sub varian omicron.

“Jadi saat ini pemerintah Indonesia fokus ke program peningkatan vaksinasi booster pertama. Jadi belum memprioritaskan vaksinasi booster kedua atau dosis keempat walaupun beberapa rekomendasi, masukan atau harapan dari sebagian epidemiolog, orang yang berisiko tinggi berharap adanya booster kedua,” ungkapnya kepada VOA.

Petugas medis membawa vaksin COVID-19 di Bandung, Jawa Barat, 13 Januari 2021. (Foto: Raisan Al Farisi/Antara via REUTERS)

Petugas medis membawa vaksin COVID-19 di Bandung, Jawa Barat, 13 Januari 2021. (Foto: Raisan Al Farisi/Antara via REUTERS)

Ia menjelaskan, sampai saat ini cakupan booster pertama di Indonesia masih cukup rendah, yakni baru mencapai 25,87 persen. Padahal pemerintah menargetkan cakupan vaksinasi booster pertama setidaknya bisa mencapai 50 persen di Agustus hingga September tahun ini.

Ia mengakui memang laju vaksinasi booster pertama ini cenderung lambat jika dibandingkan dengan laju pemberian vaksinasi COVID-19 dosis pertama dan kedua. Menurutnya ada beberapa faktor yang menyebabkan hal tersebut, termasuk adanya libur lebaran. Selain itu juga adanya pengendoran protokol kesehatan di mana masyarakat sebelumnya diperbolehkan melepaskan masker di luar ruangan. Hal tersebut, menurut Syahril, membuat masyarakat mengabaikan protokol kesehatan dan tidak menganggap vaksinasi booster pertama penting.

“Dengan kenaikan kasus ini suatu momen yang penting agar kita kembali lagi karena kita masih pandemi dan naik turunnya kasus ini. Sehingga program kita dua, yang pertama adalah pengetatan, pendislipinan prokes baik itu makser, jaga jarak dan sebagainya karena saat ini ada kenaikan kasus. Kedua, peningkatan cakupan vaksinasi booster,” tuturnya.

Penyebaran Subvarian Omicron BA.2.75

Dalam kesempatan ini, Syahril juga menjelaskan bahwa penyebaran subvarian omicron BA.2.75 di Indonesia cenderung lambat. Berdasarkan hasil pengamatan Kemenkes, baru terjadi empat kasus di Tanah Air, yakni satu kasus di Bali, dan tiga kasus di DKI Jakarta.

“Kemarin baru ada tambahan satu lagi di Jakarta juga. Memang lambat sekali. Artinya untuk saat ini perkembangan mereka lambat. Jadi BA.2.75 ini baru satu ada di Bali, dan tiga di Jakarta. Jadi tidak seperti BA.5 di mana saat ini mendominasi,” tuturnya.

Petugas kesehatan menunggu usai menerima vaksin COVID-19 Sinovac di Sleman, Yogyakarta, 28 Januari 2021. (Foto: Antara/Andreas Fitri Atmoko via REUTERS)

Petugas kesehatan menunggu usai menerima vaksin COVID-19 Sinovac di Sleman, Yogyakarta, 28 Januari 2021. (Foto: Antara/Andreas Fitri Atmoko via REUTERS)

Ia mengatakan kasus BA.2.75 di DKI Jakarta sudah tergolong kepada kategori transmisi lokal. Adapun gejala yang dirasakan oleh pasien hampir sama dengan pasien subvarian omicron BA.4 dan BA.5.

“Jadi perlu dicermati juga, walaupun ada prediksi sekitar 20 ribu di minggu ketiga atau akhir bulan, tapi kalau kita lihat kenaikannya kan naik turun, tidak lebih dari 6.000. Berarti mudah-mudahan prediksi itu sudah kita antisipasi dengan prokes maupun vaksinasi tadi,” tuturnya.

Kesadaran Masyarakat tentang Booster

Epidemiolog Universitas Airlangga Laura Navika Yamani mengatakan langkah pemerintah untuk mengejar pemberian booster COVID-19 pertama sudah tepat. Menurutnya, pemberian booster dosis kedua harus melihat dulu situasi dan perkembangan kondisi pandemi ke depan.

“Jadi saya rasa untuk cakupan vaksinasi booster yang pertama masih sangat rendah. Artinya kalau kemudian berpikir bagaimana seperti ada wacana untuk melakukan booster kedua, saya rasa mungkin lebih baik menuntaskan , memaksimalkan masyarakat ini bisa mendapatkan booster yang pertama lagi. Baru berpikir untuk pemberian booster kedua,” ungkap Laura kepada VOA.

Inan Rustandi, 72 tahun, warga Desa Sindanglaya, bereaksi saat menerima dosis pertama vaksin Sinovac Biotech, Jawa Barat, 15 Juni 2021. (Foto: REUTERS/Willy Kurniawan)

Inan Rustandi, 72 tahun, warga Desa Sindanglaya, bereaksi saat menerima dosis pertama vaksin Sinovac Biotech, Jawa Barat, 15 Juni 2021. (Foto: REUTERS/Willy Kurniawan)

Ia menilai pemerintah cukup kesulitan untuk menggaet masyarakat dalam melakukan booster kedua ini. Menurutnya, pemerintah memang harus mewajibkan masyarakat untuk segera mendapatkan booster mengingat pandemi belum usai dan bahkan berbagai varian atau subvarian baru terus muncul. Masyarakat, katanya, harus diberikan pemahaman mengenai pentingnya melakukan vaksinasi booster karena sifat proteksi dari vaksin corona akan menurun seiring berjalannya waktu.

“Cuma kalau di Indonesia sendiri saya rasa memang menghadapi kendala untuk bisa meningkatkan cakupan booster. Karena dulu awal-awal vaksin 1 dan 2, kasusnya memang cukup tinggi sehingga mungkin urgensi untuk mendapatkan vaksin dosis 1 dan 2 dirasa sangat perlu bagi masyarakat. Jadi tentu pemerintah ingin memberikan yang terbaik bagi masyarakat, tapi masyarakat tidak berpikir demikian,” tuturnya.

Lebih jauh, Laura menjelaskan pemberian booster pertama ini penting guna mencegah terjadinya keparahan dan kematian akibat munculnya berbagai varian baru dari virus corona.

Petugas kesehatan menyiapkan vaksin Sinovac untuk COVID-19 saat vaksinasi massal untuk tenaga medis Indonesia, di Stadion Istora Senayan, Jakarta, 4 Februari 2021. (Foto: REUTERS/Willy Kurniawan)

Petugas kesehatan menyiapkan vaksin Sinovac untuk COVID-19 saat vaksinasi massal untuk tenaga medis Indonesia, di Stadion Istora Senayan, Jakarta, 4 Februari 2021. (Foto: REUTERS/Willy Kurniawan)

“Pemberian booster pertama ini sebagai langkah antisipasi. Jadi kita tidak nunggu kasusnya itu meningkat dulu, baru kita mau untuk di-booster,” katanya.

Menurut Laura, Indonesia bisa belajar dari kasus-kasus yang terjadi, baik di dalam negeri maupun negara-negara lain.

“Jadi kita melihat peningkatan kasus pasca pemberian vaksin dosis 2 itu juga muncul terjadi di beberapa negara sehingga mereka juga menerapkan pemberian booster. Sehingga itu dianggap perlu dan kita pun juga demikian. Jadi jangan menunggu terjadi ledakan kasus. Saya rasa pemberian booster ini tidak merugikan, tapi akan memberikan manfaat,” pungkasnya. [gi/ah]

Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.

Tinggalkan Balasan