Polisi Bantah Tuduhan Kekerasan Terkait Kematian Aktivis Transgender di Bali

Polisi, Kamis (25/8) membantah tuduhan kekerasan dari keluarga seorang aktivis transgender sekaligus mahasiswa Universitas Harvard yang meninggal setelah ditangkap saat berbulan madu di pulau Bali.

Rodrigo Ventosilla (32), dari Peru ditahan oleh petugas bea cukai setibanya di bandara bersama suami barunya, juga orang Peru, kata keluarganya dalam sebuah pernyataan pekan ini di Instagram. Mereka menuduh pihak berwenang di Bali transfobia, serta melakukan tindak kekerasan dan diskriminasi rasial.

Juru bicara Polda Bali mengatakan kepada Reuters bahwa Ventosilla sedang diselidiki terkait pelanggaran narkoba setelah produk yang diduga berasal dari ganja ditemukan di kopernya.

Ilustrasi - Suasana di terminal kedatangan internasional Bandara Internasional Ngurah Rai, Tuban dekat Denpasar, Bali, 16 Februari 2022. (SONNY TUMBELAKA / AFP)

Ilustrasi – Suasana di terminal kedatangan internasional Bandara Internasional Ngurah Rai, Tuban dekat Denpasar, Bali, 16 Februari 2022. (SONNY TUMBELAKA / AFP)

Dua hari setelah ditangkap, Ventosilla dilarikan ke rumah sakit dan meninggal pada 11 Agustus karena organ-organnya tidak berfungsi semestinya, kata Kombes Pol Stefanus Satake Bayu Setianto, Kabid Humas Polda Bali. Stefanus mengatakan bahwa Ventosilla jatuh sakit setelah menelan obat yang bukan bagian dari barang-barang yang disita polisi.

Keluarga Ventosilla mengatakan mereka tidak tahu penyebab kematiannya tetapi mengatakan ia tidak diberi akses ke pembelaan hukum dan informasi. Stefanus tidak menjawab tuduhan itu atau tuduhan transfobia, tetapi mengatakan bahwa tidak ada kekerasan selama penahanan Ventosilla dan kasus itu sekarang ditutup.

Harvard Kennedy School, tempat Ventosilla belajar, menggemakan seruan keluarga untuk diadakan penyelidikan.

Ventosilla adalah pendiri bersama organisasi hak-hak trans Peru Diversidades Trans Masculinas dan sedang mengejar gelar master di bidang administrasi publik, kata Crimson. Suaminya telah kembali ke Peru, kata pernyataan keluarganya.

Kementerian Luar Negeri Peru mengatakan dalam sebuah pernyataan, Rabu, pihaknya telah meminta pihak berwenang Indonesia untuk menghormati hak-hak kedua warga negaranya, tetapi menambahkan bahwa penahanan kedua warga Peru ini tidak ada hubungannya dengan diskriminasi rasial atau transfobia.

Keluarga Ventosilla telah meminta Kementerian Luar Negeri Peru untuk melakukan penyelidikan yang lebih menyeluruh. Indonesia memberlakukan salah satu undang-undang antinarkotika paling keras di kawasan Asia, termasuk menerapkan hukuman mati. [ab/uh]

Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.

Tinggalkan Balasan