Politik Luar Negeri Bebas Aktif Masih Relevan

Cuitan Duta Besar Ukraina untuk Indonesia Vasyl Hamianin baru-baru ini yang menyindir perbedaan sikap pemerintah Indonesia terhadap pengeboman Israel di Jalur Gaza dengan serangan Rusia ke Ukraina, membuka kotak pandora tentang arah kebijakan luar negeri Indonesia. Hamianin secara terang-terangan menilai Indonesia memiliki standar ganda.

Kementerian Luar Negeri Indonesia telah memanggil Hamianin untuk menyampaikan ketidaksenangan atas cuitan itu dan berupaya menjelaskan kebijakan luar negeri bebas aktif Indonesia.

Pengamat Hubungan Internasional dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Nanto Sriyanto mengatakan politik luar negeri bebas aktif merupakan bagian penting dari Indonesia dan tidak bisa disalahpahami sebagai politik netral. Politik bebas aktif, tambahnya, harus dipahami sebagai peran aktif Indonesia dalam mengupayakan perdamaian dunia dengan tidak terjebak pada kepentingan-kepentingan selain kepentingan nasional.

“Jadi bebas aktif itu bukan sekadar moralitas tapi juga bersandar pada realitas kepentingan nasional dan praktek bahwa di dunia internasional tiap pihak punya kepentingan. Justeru karena kita tahu setiap pihak punya kepentingan, dalam bekerja sama kita tidak mau pihak lain itu akan atau mau menyulitkan kita dalam pendapat yang memang harus kita katakan,” kata Nanto.

Persaingan Antar Kekuatan Makin Rumit

Nanto menilai politik luar negeri bebas aktif bisa disebut sebagai “merk diplomasi” Indonesia yang menjadikannya unik, tetapi pelaksanaannya semakin sulit karena menguatnya persaingan blok Amerika-Barat dan blok Rusia-China.

Khusus dalam konteks perang Rusia di Ukraina, ada dilema antara kebutuhan pasokan pangan yang menjadi komoditas utama Ukraina, dengan pasokan peralatan pertahanan dari Rusia. Pada titik itu, Indonesia tidak bisa secara tegas menyatakan apa yang salah adalah salah.

Hal yang sama juga terjadi dalam konflik Palestina-Israel. Indonesia bisa menyatakan Israel adalah penjajah, tetapi upaya Indonesia untuk mendorong perdamaian menjadi terbatas karena tidak memiliki hubungan diplomatik dengan negara itu.

Menarik Manfaat dari Persaingan

Secara terpisah pengamat hubungan internasional dari Universitas Padjadjaran Bandung, Teuku Rezasyah, menjelaskan bebas berarti kebijakan luar negeri Indonesia ditentukan sendiri, bukan oleh pihak lain atau negara bertikai. Sedangkan aktif berarti aktif mengupayakan perdamaian dan ketertiban dunia.

Dr. Teuku Rezasyah, Pengamat Hubungan Internasional (foto: courtesy).

Dr. Teuku Rezasyah, Pengamat Hubungan Internasional (foto: courtesy).

Dia mengakui politik luar negeri bebas aktif dianut Indonesia merupakan payung sangat aman dalam berhubungan dengan masyarakat internasional, namun dalam kenyataannya prinsip bebas aktif saja tidak cukup.

“Karena persaingan antar kekuatan besar itu semakin komprehensif. Mereka mencba menggaet sebanyak mungkin negara di dunia untuk menjadi pengikut mereka, langsung maupun tidak langsung, biasanya lewat berbagai perjanjian, komitmen, proyek,” ujar Rezasyah.

Menurut Rezasyah, dalam kondisi serba pelik karena Indonesia memiliki banyak kesepakatan dengan Amerika, Rusia, dan China. Indonesia harus piawai dalam menjalin hubungan internasional dan sebisa mungkin mengambil manfaat dari persaingan negara-negara besar itu guna meningkatkan kapabilitas dan pengaruh Indonesia.

Rezasyah mencontohkan bagaimana secara ekonomi Indonesia dekat dengan China, namun dalam sektor pertahanan dan keamanan, Indonesia dekat dengan Amerika.

Kebijakan luar negeri bebas aktif, tegasnya, masih relevan saat ini dan akan membawa Indonesia ke jalan tengah, yakni situasi yang tenang dan tidak membawa masalah baru dalam hubungan internasional.

Terkait perang Rusia di Ukraina, menurut Rezasyah, Indonesia bersikap realistis tidak mengecam Rusia secara terbuka karena Rusia berjasa membantu Indonesia saat perebutan wilayah Irian Barat (Papua) dari Belanda. Ketika itu, Belanda termasuk anggota NATO (Pakta Pertahanan Atlantik Utara).

Menlu Tegaskan Urgensi Kebijakan Luar Negeri Bebas Aktif

Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menyatakan politik luar negeri Indonesia tidak pernah mengajarkan permusuhan dan menempatkan kepentingan nasional di atas segalanya. Dia mengharapkan meski persaingan antara Amerika dan China kian meruncing tidak menjadi konflik terbuka.

Dia menambahkan China diprediksi akan menggeser Amerika sebagai kekuatan ekonomi terbesar dunia pada 2035 atau mungkin lebih cepat. Mengutip analisa dikeluarkan lembaga konsultan Price Waterhouse Coper, tujuh negara dengan pertumbuhan ekonomi tercepat pada 2050 mencakup empat negara Asia, yakni China, India, Indonesia, dan Jepang.[fw/em]

Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.

Tinggalkan Balasan