Gelombang baru kasus COVID-19 dan meningkatnya tingkat rawat inap sebelum pemilu Oktober mendatang menimbulkan masalah baru bagi pemerintah Quebec, Kanada. Pasalnya, pemerintah setempat tidak berencana memberlakukan lagi kewajiban bermasker di provinsi itu meskipun beberapa dokter menyerukan hal tersebut.
Lonjakan kasus di seluruh dunia, yang sebagian besarnya dipicu omicron varian BA.4/5, membuat pihak berwenang bergulat mengatasi peningkatan infeksi sambil mencoba menghindari opsi memperpanjang atau justru memberlakukan kembali berbagai pembatasan yang tidak populer.
Di Quebec, beberapa orang kini menganggap pemerintah, yang sempat memberlakukan salah satu pembatasan COVID-19 paling ketat di Amerika utara, tidak berbuat cukup.
Donald Vinh, dokter di McGill University Health Centre di Montreal, menyerukan pemerintah Quebec untuk memberlakukan kembali kewajiban bermasker di tempat-tempat umum dalam ruangan untuk mencegah semakin parahnya gejala dan kematian.
Namun pemerintah “takut kepada para pemilih yang marah,” kata Vinh. “Mereka tidak takut pemilih yang mati.”
Seperti provinsi lain di Kanada, Quebec tengah mengalami gelombang COVID-19 ketujuh, dengan lebih dari 7.000 petugas kesehatan tak bisa bertugas karena terpapar virus, menurut data pemerintah. Quebec mengurangi layanan musim panas di enam ruang gawat darurat karena kekurangan staf.
Jumat (15/7) lalu, provinsi itu mengumumkan bahwa 1.887 orang diopname karena tertular COVID-19, naik 27 pasien dari hari sebelumnya. Sepanjang akhir pekan kemarin, Rumah Sakit Anak Montreal mengatakan pihaknya “tidak mampu melayani pasien yang kondisinya tidak mendesak.” Baru pada hari Senin rumah sakit itu kembali ke kondisi normal.
Maret lalu, ketika kewajiban bermasker akan dicabut, 72 persen warga Quebec yang mengikuti jajak pendapat mengatakan kepada lembaga survei Angus Reid bahwa mereka mendukung kewajiban bermasker, tetapi hanya 38 persen yang mengatakan berencana tetap mengenakan penutup wajah ketika kewajiban itu berakhir.
Sementara itu, beberapa kota besar di China, termasuk Shanghai, meluncurkan tes COVID-19 massal baru atau memperpanjang lockdown terhadap jutaan warga demi memerangi kluster baru infeksi COVID-19, di mana sejumlah langkah dikritik di dunia maya.
China melaporkan jumlah rata-rata kasus harian mencapai 390 selama tujuh hari, 11-17 Juli 2022. Angka itu lebih tinggi dari 340 kasus harian rata-rata pada pekan sebelumnya, menurut perhitungan Reuters yang didasarkan pada data resmi per hari Senin (18/7).
Meskipun angka itu tergolong kecil dibandingkan kenaikan kasus di wilayah lain benua Asia, China bersikeras menerapkan kebijakan nol-COVID-nya yang bertujuan menghilangkan perebakan segera setelah muncul. Sebelumnya, ketika sebuah lonjakan menjadi perebakan besar, pejabat setempat terpaksa mengambil langkah yang lebih keras, seperti karantina wilayah selama sebulan penuh, bahkan dengan mengorbankan pertumbuhan ekonomi.
Perebakan yang terus-menerus terjadi serta penutupan lebih banyak wilayah dapat menambah tekanan pada ekonomi terbesar kedua di dunia itu, yang mengalami kontraksi tajam pada kuartal kedua, setelah lockdown COVID-19 besar-besaran menyentak produksi industri dan belanja konsumen.
Pusat komersial Shanghai, yang belum sepenuhnya pulih dari dampak lockdown selama dua bulan di musim semi dan masih terus melaporkan kasus COVID-19 sporadis setiap hari, berencana menyelenggarakan tes COVID-19 massal di banyak dari 16 distriknya dan di beberapa daerah yang lebih kecil, di mana infeksi baru dilaporkan terjadi baru-baru ini, setelah tes serupa pekan lalu. [rd/rs]
Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.