Sri Lanka Tetapkan Keadaan Darurat

Penjabat presiden Sri Lanka Ranil Wickremesinghe pada Minggu (17/7) menetapkan keadaan darurat di negara pulau itu, yang telah dilanda krisis ekonomi yang melumpuhkan dan protes selama berpekan-pekan.

Deklarasi itu menyatakan langkah tersebut diperlukan “demi kepentingan keamanan masyarakat, mempertahankan ketertiban masyarakat dan dipertahankannya pasokan serta jasa yang penting bagi kehidupan masyarakat.”

Wickremesinghe, mantan perdana menteri, diambil sumpahnya sebagai penjabat presiden pekan lalu, setelah Gotabaya Rajapaksa mundur sebagai presiden setibanya di Singapura dari Maladewa, di mana ia pertama kali melarikan diri dari protes terkait kesulitan ekonomi negara itu.

Pengunduran diri Rajapaksa diterima resmi hari Jumat oleh ketua parlemen, yang mengatakan bahwa presiden baru akan dipilih dalam waktu sepekan untuk menjalani dua tahun sisa masa jabatan presiden.

Presiden Sementara Ranil Wickremesinghe, kanan, menyapa Ketua Hakim Jayantha Jayasuriya saat upacara pengambilan sumpah di Kolombo, Sri Lanka, Jumat, 15 Juli 2022 (Foto: via AP)

Presiden Sementara Ranil Wickremesinghe, kanan, menyapa Ketua Hakim Jayantha Jayasuriya saat upacara pengambilan sumpah di Kolombo, Sri Lanka, Jumat, 15 Juli 2022 (Foto: via AP)

Seraya menyebut pemilu akan dilakukan dengan “cepat dan secara transparan,” ketua parlemen Mahinda Yapa Abeywardena, meminta rakyat agar “menciptakan situasi damai” untuk menerapkan proses demokrasi.

Imbauannya itu disampaikan setelah satu pekan yang kacau, di mana para demonstran menyerbu kediaman dan kantor presiden serta perdana menteri, setelah Rajapaksa menentang seruan berbulan-bulan agar ia mengundurkan diri. Mereka baru meninggalkan gedung-gedung itu hari Kamis lalu, dengan mengatakan mereka telah mencapai tujuan mereka untuk menunjukkan kekuatan rakyat dan ingin memastikan perjuangan mereka tetap damai.

Pengunduran diri Rajapaksa yang berusia 73 tahun itu menandai kemenangan besar bagi gerakan protes yang menuntut pengunduran dirinya setelah krisis ekonomi menyebabkan negara itu berjuang mengatasi inflasi tak terkendali dan kelangkaan BBM serta obat-obatan yang parah, sementara cadangan devisa habis.

Rajapaksa dan keluarganya, yang memegang jabatan-jabatan penting di pemerintahan, termasuk perdana menteri dan menteri keuangan, menguasai sekitar 70 persen anggaran nasional dan secara luas dipersalahkan atas salah urus yang menyebabkan negara itu praktis bangkrut. Ini mengejutkan negara yang pernah dipuji sebagai kisah sukses di antara negara-negara berkembang dengan rakyatnya yang berpendidikan baik dan kelas menengah yang besar.

Dianggap dekat dengan keluarga Rajapaksa dan dituduh mengurangi tekanan terhadap Gotabaya Rajapaksa agar mengundurkan diri setelah ia menerima jabatan perdana menteri pada Mei lalu, Wickremesinghe juga di bawah tekanan demonstran untuk mundur. Wickremesinghe sebelumnya telah mengatakan bahwa ia akan mengundurkan diri jika pemerintahan baru telah dibentuk dan meminta partai-partai politik agar memilih pemerintah persatuan baru. Akan tetapi partai yang berkuasa telah menyatakan ia akan menjadi pilihan mereka untuk presiden berikutnya.

Partai oposisi utama menginginkan ketuanya, Sajith Premadasa, untuk memimpin negara itu.

Para pengamat politik menyatakan para anggota parlemen harus mengesampingkan perbedaan pendapat di antara mereka dan mencapai konsensus. [uh/ab]

Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.

Tinggalkan Balasan