Tindakan Keras Taliban Cekik Hak-hak Perempuan Afghanistan

Kehidupan perempuan dan anak perempuan Afghanistan hancur akibat tindakan keras Taliban sejak mereka mengambil alih kekuasaan hampir setahun lalu, kata Amnesty International dalam laporan yang dirilis Rabu (27/7).

Menurut laporan itu, setelah merebut ibu kota, Kabul, pada Agustus 2021 dan menggulingkan pemerintah yang didukung internasional, Taliban menampilkan diri sebagai sosok yang lebih moderat ketimbang ketika pertama kali berkuasa pada 1990-an.

Awalnya, para pejabat Taliban berbicara tentang mengizinkan perempuan untuk terus bekerja dan anak perempuan untuk melanjutkan pendidikan mereka. Namun, pada kenyataannya, mereka malah melarang anak perempuan bersekolah mulai kelas tujuh, mengharuskan perempuan mengenakan pakaian yang menutupi semua tubuh kecuali mata, dan membatasi akses perempuan untuk bekerja.

Seorang perempuan berpakaian burqa berjalan melewati spanduk yang dipasang oleh otoritas Taliban yang meminta wanita untuk mengenakan jilbab, di Kandahar pada 16 Juni 2022. (Foto: AFP)

Seorang perempuan berpakaian burqa berjalan melewati spanduk yang dipasang oleh otoritas Taliban yang meminta wanita untuk mengenakan jilbab, di Kandahar pada 16 Juni 2022. (Foto: AFP)

Amnesty mengatakan Taliban juga telah menghancurkan perlindungan bagi mereka yang menderita kekerasan dalam rumah tangga, menahan perempuan dan anak perempuan karena berbagai pelanggaran kecil, dan berkontribusi pada lonjakan pernikahan anak. Laporan itu juga mendokumentasikan penyiksaan dan pelecehan terhadap perempuan yang ditangkap oleh Taliban karena memprotes pembatasan.

”Secara keseluruhan, kebijakan Taliban membentuk sistem represi yang mendiskriminasi perempuan dan anak perempuan dalam hampir setiap aspek kehidupan mereka,” kata laporan itu. ”Tindakan keras yang menyesakkan terhadap perempuan Afghanistan ini meningkat dari hari ke hari.”

Sejumlah peneliti kelompok tersebut mengunjungi Afghanistan pada bulan Maret sebagai bagian dari penyelidikan selama sembilan bulan yang dilakukan dari September 2021 hingga Juni 2022. Mereka mewawancarai 90 perempuan dan 11 anak perempuan, berusia antara 14 dan 74 tahun, di berbagai penjuru Afghanistan. Di antara mereka adalah sejumlah perempuan yang ditahan karena aksi protes dan menggambarkan penyiksaan di tangan penjaga Taliban, termasuk pemukulan dan ancaman untuk membunuh mereka atau keluarga mereka.

Seorang mahasiswa yang ditahan mengatakan ia disetrum di bahu, wajah, leher dan di tempat lain, sementara Taliban meneriakinya dengan hinaan. Seseorang menodongkan pistol ke arahnya dan mengatakan, “Saya akan membunuhmu, dan tidak ada yang akan dapat menemukan tubuhmu.” Seorang perempuan lain mengatakan kepada Amnesty bahwa para penjaga memukulinya dan sejumlah perempuan lain di dada dan di antara kaki, “sehingga kami tidak bisa menunjukkan kepada dunia”. Ia mengungkapkan seorang penjaga mengatakan kepadanya, “Saya bisa membunuhmu sekarang, dan tidak ada seorang pun yang akan mengatakan apa-apa.”

Laporan itu mengatakan tingkat pernikahan anak dan paksa di Afghanistan melonjak di bawah pemerintahan Taliban. Peningkatan ini dipicu oleh krisis ekonomi dan kemanusiaan Afghanistan dan kurangnya prospek pendidikan dan pekerjaan bagi perempuan dan anak perempuan. Laporan tersebut juga mendokumentasikan kasus kawin paksa dengan anggota Taliban.

Seorang perempuan dari sebuah provinsi di Afghanistan tengah mengatakan kepada Amnesty bahwa kesulitan ekonomi memaksanya menikahkan putrinya yang berusia 13 tahun dengan tetangganya yang berusia 30 tahun dengan imbalan sekitar 670 dolar AS. Ia mengaku merasa lega karena putrinya kini “tidak akan lapar lagi.” Ia juga mengatakan sedang mempertimbangkan hal yang sama untuk putrinya yang berusia 10 tahun tetapi menunda dengan harapan anak itu bisa mendapatkan pendidikan dan akhirnya mendapatkan pekerjaan untuk menghidupi keluarga. ”Tentu saja, jika mereka tidak membuka sekolah, saya harus menikahkannya,” tambahnya.

Kelompok Taliban di Afghanistan menerapkan aturan yang sangat ketat bagi kaum perempuan.

Kelompok Taliban di Afghanistan menerapkan aturan yang sangat ketat bagi kaum perempuan.

Taliban merebut Kabul sewaktu pasukan AS dan NATO menarik diri dari Afghanistan, mengakhiri perang hampir 20 tahun melawan pemberontakan Taliban. Dunia menolak untuk mengakui kekuasaan Taliban, dan menuntutnya untuk menghormati HAM dan menunjukkan toleransi terhadap kelompok-kelompok lain. AS dan sekutunya telah memotong miliaran dana pembangunan yang menyulitkan operasi pemerintah, serta membekukan miliaran aset nasional Afghanistan.

Situasi ini membuat ekonomi Afghanistan yang sudah hancur menjadi semakin terpuruk, meningkatkan kemiskinan secara dramatis dan menciptakan salah satu krisis kemanusiaan terburuk di dunia. Jutaan orang, yang berjuang untuk memberi makan keluarga mereka, berhasil bertahan hidup berkat upaya bantuan besar-besaran yang dipimpin oleh PBB.

Amnesti meminta masyarakat internasional mengambil tindakan untuk melindungi perempuan dan anak perempuan Afghanistan. [ab/ka]

Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.

Tinggalkan Balasan