tribun-nasional.com – -kali para hakim keseleo lidah membacakan nota putusan karena tebal dan detailnya isi nota tersebut. Dan memang prosedur pengadilan demikian adanya.
Namun publik terlihat ikut tegang, menjelang saat-saat akhir putusan yang dibacakan Ketua Majelis Hakim Wahyu Imam Santoso, hingga disebut bahwa terdakwa Ferdy Sambo dijatuhi vonis mati.
Hukuman yang lebih berat dari tuntutan JPU sebelumnya, yakni penjara seumur hidup.
Sementara Sambo juga terlihat tegang dengan beberapa kali menunjukkan gesture menaikkan bahunya agar tak melorot di kursi terdakwa. Berkali-kali menghela napas panjang, apalagi begitu vonis dibacakan.
Meski sikapnya masih menunjukkan bahwa ia masih memiliki kekuatan, karena “bekas” kekuatan kepangkatan yang pernah dimilikinya. Namun bungkam dan dingin sikapnya tak bisa menyembunyikan rasa sesungguhnya.
Akhir kepala pengadil polisi
Sebagai kepalanya para pengadil polisi, yang telah melakukan kejahatan pembunuhan berencana, dan melakukan obstruction of justice yang ekstrem, apa yang menarik dari akhir putusan sidang kemarin adalah, majelis hakim menilai Sambo dirasa “layak” mendapatkan hukuman mati karena sama sekali tak memiliki alasan yang meringankan.
Apalagi hingga sidang pleidoi berisi pembelaan, Sambo menolak bertanggungjawab sepenuhnya atas perbuatannya menghilangkan nyawa Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat.
Begitu juga dengan Putri Candrawathi, hakim juga menyatakan bahwa alasan semula yang mengatakan ada unsur pelecehan seksual sama sekali tidak terbukti di pengadilan, dan dianggap tidak ada.
Faktor pendorong dominan terjadinya pembunuhan berencana atas Josua tersebut, karena perasaan tersinggung atau sakit hati dari Putri Candrawati, kemudian Ferdy Sambo juga mengalami hal yang sama sehingga dilakukan perencanaan pembunuhan.
Putusan yang lebih berat bagi Sambo dan Putri, jika memang benar karena aduan Putri yang menyebabkan Ferdy Sambo merencanakan pembunuhan, bukankah sesungguhnya Putri pemicu utama terjadinya tragedi pembunuhan itu?
Atas dasar itu juga, para hakim memutuskan menambah hukuman Putri menjadi 20 tahun penjara, lebih tinggi dari tuntutan jaksa, yakni 8 tahun penjara.
Di satu sisi ini mengobati kekecewaan keluarga besar almarhum Josua dan kekecewaan publik.
Tentu saja hakim telah mempertimbangkan dengan sangat cermat putusan tersebut, tak sekadar hanya ingin menjawab kekecewaan keluarga korban dan publik.
Dari sisi lain keadilan, putusan itu juga menunjukkan bahwa para pengadil sebagai “wakil Tuhan” di bumi telah memberikan putusan terbaik.
Sebaliknya bagi para terdakwa, putusan tersebut seharusnya menjadikan Putri merasa lebih bersalah. Bukan karena hanya menyebabkan kematian Josua, tetapi juga membuat suami yang dicintainya terancam dieksekusi mati.
Ferdy Sambo juga sudah pasti sangat kecewa dikenakan vonis maksimal. Dia berhadapan dengan kematian karena perbuatan mengatasnamakan pembelaan terhadap istri tercinta.
Sebuah kebetulan peristiwa ini terjadi di bulan Februari-Valentine days ada di dalamnya. Peristiwa paling tepat menguji kekuatan cinta yang mereka miliki masing-masing, karena cinta sejati semestinya tetap terpelihara dan diungkapkan di saat mengalami penderitaan yang dirasakan bersamaan.
Antara cinta dan benci
“Cinta dan benci adalah kata-kata yang begitu kuat, mereka juga menyebabkan begitu banyak rasa sakit.”
Dibelahan lain dunia, sebulan sebelumnya pada 10 Januari 2023, seorang perwira polisi di Amerika bernama Robert Fratta sudah dieksekusi mati atas hukumannya karena melakukan pembunuhan berencana terhadap istrinya sendiri bernama Farah.
Meskipun menggunakan tangan orang ketiga, pembunuh bayaran, segala alibi Robert Fratta berhasil dipatahkan oleh institusi penegak hukum di Amerika yang dapat membuktikan pembunuhan tersebut atas permintaan Robert Fratta.
Motif pembunuhan itu dilatarbelakangi perselisihan atas hak asuh terhadap anak mereka di tengah perceraian perkawinan Robert Fratta dengan Farah.
Baik Ferdy Sambo dan Robert Fratta keduanya adalah perwira polisi, penegak hukum, tetapi terjerat hukuman mati karena pembunuhan berencana.
Jika Ferdy Sambo melakukan pembunuhan berencana karena “membela orang yang dicintainya”, sedangkan Robert Fratta membunuh orang yang (pernah) dicintainya.
Cinta dan Benci ternyata hanya beda tipis. Nasib Sambo akan sama seperti Robert Fratta, berakhir pada eksekusi mati, jika vonisnya tidak berubah hingga berkekuatan hukum tetap.
Di luar itu semua, pada akhirnya sidang yang panjang dan begitu berbelit dengan segala intrik, tipu daya dan rekayasa, kita yang menyaksikan harus bisa mengambil hikmah dan pembelajarannya saja.
Jika masih ada sekuel dari ranah persidangan, semoga tetap bisa mewakili rasa keadilan. Tak menjadi preseden buruk ruang pengadilan yang saat ini tengah, memberikan respek positif pada keluarga korban dan publik yang tak kenal lelah mengawalnya.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram “Kompas.com News Update”, caranya klik link , kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.