tribun-nasional.com – Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di bidang kemanusiaan hingga Persekutuan Gereja menolak vonis mati yang dijatuhkan terhadap Ferdy Sambo . Mereka menilai, hakim bisa lebih adil tanpa vonis tersebut.
Terdakwa pembunuhan Brigadir Norfiansyah Yosua Hutabarat (Brigadi J), Ferdy Sambo divonis hukuman mati. Hal itu disampaikan hakim Ketua Wahyu Iman Santoso, di PN Jakarta Selatan, Senin 13 Februari 2023.
Wahyu Iman Santoso menilai Ferdy Sambo bersalah dengan melanggar pasal 340 KUHP subsider pasal 338 KUHP juncto pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. “Mengadili, menyatakan terdakwa Ferdy Sambo telah terbukti bersalah tindak pidana turut serta dalam pembunuhan berencana,” katanya.
Vonis mati yang dijatuhkan majelis hakim kepada Ferdy Sambo pun menuai penolakan dari berbagai organisasi. Beberapa di antaranya adalah Amnesty International Indonesia dan Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia ( PGI ).
Amnesty International Indonesia menanggapi vonis pidana mati oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan terhadap Ferdy Sambo . Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan hakim bisa lebih adil meski tanpa vonis mati.
“Perbuatannya memang tergolong kejahatan yang serius dan sulit ditoleransi. Terlebih mengingat kapasitasnya sebagai kepala dari polisinya polisi. Komnas HAM menyebut kasus ini sebagai extrajudicial killing atau pembunuhan di luar putusan pengadilan. Artinya perbuatan itu tergolong kejahatan di bawah hukum internasional. Meski Sambo perlu dihukum berat, ia tetap berhak untuk hidup,” tuturnya dalam keterangan tertulis, Senin, 13 Februari 2023.
“Amnesty tidak anti penghukuman, kami sepakat bahwa segala bentuk kejahatan di bawah hukum internasional yang dilakukan aparat negara harus dihukum yang berat tetapi tetap harus adil, tanpa harus menjatuhkan hukuman mati. Ini hukuman yang ketinggalan zaman,” ujar
“Kami menghormati putusan hakim yang telah berusaha untuk memenuhi rasa keadilan korban dan juga khalayak umum. Namun hakim bisa lebih adil, tanpa harus memvonis mati Sambo,” kata Usman Hamid menambahkan.
Menurutnya, negara sebaiknya fokus membenahi keseluruhan sistem penegakan akuntabilitas aparat keamanan yang terlibat kejahatan. Jangan melanggengkan impunitas atas kejahatan serius yang dilakukan oleh aparatus negara atas nama apapun, bahkan dalam keadaan darurat sekalipun.
“Amnesty mencatat kasus pembunuhan di luar hukum yang melibatkan aparat kerap tidak diusut tuntas,” ucap Usman Hamid.
“Hukuman mati bukan jalan pintas untuk membenahi akuntabilitas kepolisian sebagai penegak hukum. Kasus ini bukanlah kasus pembunuhan di luar hukum pertama yang melibatkan polisi. Kasus ini seharusnya menjadi pengingat bagi pihak Kepolisian untuk segera melakukan pembenahan serius secara internal,” tuturnya menambahkan.
Amnesty International pun menegaskan pihaknya menentang hukuman mati untuk segala kasus tanpa terkecuali, terlepas dari siapa yang dituduh melakukan kejahatan, sifat kejahatan, ataupun metode eksekusi yang digunakan. Prinsip untuk tidak melanggar hak untuk hidup dan hak untuk tidak mengalami perlakuan atau hukuman yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat harus diterapkan dalam situasi apapun.
Ketua Umum PGI Pdt. Gomar Gultom mengatakan, PGI menghargai proses peradilan yang berlangsung dan memahami perlunya hukuman berat atas Ferdy Sambo karena telah melakukan pembunuhan berencana, serta tindakan perintangan proses hukum yang dilakukan. Namun, hukuman mati adalah sebuah keputusan yang berlebihan, mengingat Tuhanlah Pemberi, Pencipta dan Pemelihara Kehidupan.
“Hak untuk hidup merupakan nilai yang harus dijunjung tinggi oleh umat manusia, dan karenanya, hanya Tuhan yang memiliki hak mutlak untuk mencabutnya,” ucapnya.
Gomar Gultom menambahkan, penegakan hukum oleh negara haruslah dalam rangka memelihara kehidupan yang lebih bermartabat. Dalam terang ini, hukuman diharapkan adalah untuk mengembalikan para pelanggar hukum kepada kehidupan yang bermartabat tersebut.
Oleh karena itu, segala bentuk hukuman hendaknya memberi peluang kepada para terhukum untuk kembali ke jalan yang benar. Peluang untuk memperbaiki diri ini akan tertutup, bila hukuman mati diterapkan.
Menurutnya, Indonesia telah meratifikasi Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) dan Konvensi Hak-hak Sipil dan Politik, maka mestinya kita tak boleh lagi memberlakukan hukuman mati. Dalam perspektif HAM, hak untuk hidup adalah hak yang tak boleh dikurangi dalam keadaan apapun. Hal ini juga ditegaskan dalam UUD 1945 Pasal 28 I ayat (1) bahwa:
“hak untuk hidup,…adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”.
Hukuman mati itu juga mengesankan lebih merupakan ‘pembalasan dendam’ oleh negara, atau bahkan frustrasi negara dan masyarakat atas kegagalannya menciptakan tata masyarakat yang bermartabat, dan rasa frustrasi itu dilampiaskan kepada terhukum. “Saya meragukan pendapat sementara pihak yang menganggap hukuman mati akan memberi efek jera sebagaimana yang dimaksudkan oleh ancaman hukuman mati tersebut. Terbukti kasus narkoba terus meningkat meski negara telah mengeksekusi mati beberapa pelaku tindak pidana narkoba,” kata Gomar Gultom.
Ketua Indonesia Police Watch ( IPW ) Sugeng Teguh Santoso mengatakan, dalam kasus ini Ferdy Sambo memang telah membawa problematik di tubuh Polri. Namun sayangnya, hakim tidak memasukan hal meringankan meski sejatinya ada.
Dia menambahkan, pihaknya tetap menghormati putusan Majelis Haki, meski putusan itu problematik lantaran Ketua Majelis Hakim Wahyu Iman Santoso dengan putusannya telah meletakkan potensi problem baru pada Polri. Ferdy Sambo tentu kecewa dengan putusan itu, dan akan banding serta akan berjuang sampai kasasi atau PK.
“Putusan majelis hakim tidak memasukkan hal-hal yang meringankan padahal fakta tersebut ada, seperti sopan, belum pernah dihukum, memiliki pengabdian, dan prestasi selama menjabat,” tutur Sugeng Teguh Santoso, Selasa, 14 Februari 2023.
Dia mengatakan, IPW melihat kejahatan Ferdy Sambo tak layak untuk hukuman mati lantaran kejahatan tersebut memang kejam tetapi tidak sadis, bahkan muncul karena lepas kontrol. Motif dendam atau marah karena alasan apapun yang diwujudkan dengan tindakan jahat yang tak menimbulkan siksaan lama sebelum kematian bukanlah kejahatan sadisme.
“Sambo masih akan berpotensi mendapat putusan lebih rendah pada tahap selanjutmya karena hal yang meringankan tak dipertimbangkan sama sekali. Putusan mati ini adalah putusan karena tekanan publik akibat pemberitaan yang masif dan hakim tak dapat melepaskan diri dari tekanan tersebut,” ujar Sugeng Teguh Santoso.***