tribun-nasional.com – PIKIRAN RAKYAT – Kasus eksploitasi anak secara seksual maupun ekonomi cenderung menurun, berdasarkan data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Namun, data kasus itu masih dianggap sebagai fenomena gunung es karena masih lebih banyak anak Indonesia yang jadi korban eksploitasi dalam Tindak Pidana Perdagangan Orang ( TPPO ).
Data KPAI menyebutkan, pada 2022, ada 85 kasus anak dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual. Angka itu menurun dari jumlah kasus 2021 yaitu 147, 2020 ada 112 kasus, 2019 ada 204 kasus, 2018 ada 281 kasus, serta pada 2017 yang mencapai 305 kasus.
“Selama tahun 2022 ada 85 kasus, tapi jauh di luar sana banyak yang tidak terlaporkan. Itu seperti fenomena gunung es,” kata Ketua KPAI, Ai Maryati Solihah, dalam webinar bertajuk “Keluarga Indonesia Anti Trafficking” yang digelar PKK Jawa Barat, Selasa, 28 Februari 2023.
Data itu bersanding dengan masih banyaknya pengaduan tidak terpenuhinya hak anak dalam hal pendidikan, pemanfaatan waktu luang, dan kegiatan budaya. Jumlah kasusnya cenderung sama setiap tahunnya, kecuali tahun 2020 yang paling tinggi.
Data 2020 memperlihatkan ada 429 kasus tentang tidak terpenuhinya hak anak dalam pendidikan, pemanfaatan waktu luang, dan kegiatan budaya. Sementara tahun 2021 ada 412 kasus, 2020 ada 1.658 kasus, 2019 ada 305 kasus, 2018 ada 471 kasus, dan 2017 ada 447 kasus.
“Padahal, pendidikan adalah pintu yang paling rapat supaya anak tidak jadi korban TPPO . Anak usia 15-18 tahun itu banyak masuk dalam masalah prostitusi, pekerjaan terburuk di diskotek. Permintaan pasarnya seperti itu karena dianggap lebih muda, lebih gesit, dan lain-lain, sehingga mereka masuk jadi korban dalam masalah TPPO . Kalau pendidikannya rapat, ada kewajiban selesai SMA/SMK, atau kewajiban jadi sarjana, mereka bisa mencegahnya. Mereka harus betul-betul menjadi kelompok yang diawasi dalam dunia pendidikan,” kata Ai.
Hal yang harus diwaspadai dalam kasus TPPO anak adalah faktor penyebab anak masuk dalam jaringan TPPO dan eksploitasi . Di antara belasan faktor, ternyata ada pula faktor disuruh orangtua.
Ai menuturkan, faktor orangtua itu terkait dengan faktor lain seperti tuntutan memenuhi kebutuhan untuk diri sendiri dan keluarga , buruknya pengasuhan keluarga , serta dijerat utang. Faktor lain di antaranya adalah adanya biro jodoh untuk pengantin pesanan, jaringan adopsi ilegal, dan kabur dari rumah.
Faktor-faktor itu banyak yang menunjukkan bahwa anak yang jadi korban TPPO memang ada di posisi rentan. Anak bisa jadi korban bukan hanya dengan ancaman kekerasan, penculikan, atau penyekapan, tapi bisa juga dengan cara penipuan atau penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan.
“Penyalahgunaan misalnya oleh orangtua atau orang yang dihormati seperti oknum kades, ketua RT, atau orang lain yang dipikir tidak mungkin melakukan tindakan jahat. Untuk kasus TPPO anak, cara bisa menjadi korban TPPO tidak jadi pertimbangan, tidak perlu ada ancaman, tapi yang jelas ada eksploitasi atau mengakibatkan tereksploitasi. Dalam beberapa kasus, orang menilai memang anaknya yang ingin, anaknya yang bandel, dll. Kita ajegkan dulu pemikiran kita semua, anak yang dalam situasi posisi rentan pasti ditargetkan oleh pelaku sehingga bisa jadi korban,” katanya.
Baca Juga: Ada Lionel Messi hingga Kylian Mbappe, Berikut Daftar Pemenang Penghargaan The Best FIFA Football 2022
Ai menyebutkan beberapa kasus yang didampingi KPAI selama 1-2 tahun ke belakang yang membuat anak menjadi korban TPPO . Kasus-kasus itu pun memperlihatkan bahwa anak-anak bisa jadi korban tanpa ada ancaman kekerasan sebelumnya.
Pertama adalah modus untuk bekerja yang ternyata bekerja di tempat hiburan malam dan bahkan harus melayani laki-laki hidung belang di Nusa Tenggara Timur. Korbannya adalah 17 anak dari Jabar. Dua anak di antaranya bahkan hamil dan melahirkan di tempat rehabilitasi sosial.
Jenis kasus kedua adalah TPPO dengan kedok persetubuhan. Korbannya adalah 30 anak dari Jambi yang dibawa ke Jakarta. Anak-anak itu sudah kembali ke sekolah meski ada yang mengalami tekanan dan penolakan karena dianggap mempermalukan sekolah. Setelah advokasi KPAI, ada beberapa anak yang dipindahkan atau minta dimasukkan ke pesantren.
Ketiga, kasus yang terungkap pada Oktober 2022 yaitu modusnya bekerja dengan janji gaji yang tinggi. Ternyata, ada 14 anak yang dilacurkan yang menyebabkan 2 anak terkena HIV dan 2 anak mengalami kehamilan tidak diinginkan.
“Janjinya mendapat 20 juta per bulan, ini anak-anak dari Sukabumi dan beberapa tempat lain. Ternyata, mereka diperbudak seks oleh germo. Sehari bisa melayani 15 orang hidung belang, dan memang dapat uang banyak, Rp15 juta/bulan. Mereka mengetahuinya dari media online,” ucap Ai.
Jenis keempat adalah eksploitasi ekonomi yang terjadi di salah satu sekolah di Kota Batu. Anak-anak direkrut dengan alasan menyekolahkan anak tidak mampu sehingga diberi kesempatan magang, tapi ternyata bekerja sampai malam hari dan tidak bersekolah. Di antara anak-anak itu, ada pula yang dieksploitasi secara seksual dengan dalih “memberikan kasih sayang”.
Lalu kelima, TPPO dengan modus penampungan perempuan yang hamil di luar perkawinan. Kasus yang disebut sebagai kasus “Ayah Sejuta Anak” itu terjadi di Kab. Bogor di mana korbannya adalah 56 bayi.
“Modusnya menampung perempuan hamil di luar perkawinan. Anak yang lahir disalurkan dan dijual tanpa prosedur. Berkedok pertolongan, tapi dijual Rp15 juta/anak. Kepolisian sudah melakukan penyidikan dan membongkar apa yang terjadi, KPAI turut mengawasi,” katanya.
Menurut Ketua Pokja 1 TP PKK Jawa Barat, Nani Muharomah, jumlah anak di Indonesia mencapai sepertiga dari keseluruhan jumlah penduduk. Jumlahnya mencapai 87 juta anak.
Karena itulah, keluarga memiliki peranan penting dalam upaya pencegahan generasi penerus bangsa itu menjadi korban TPPO . Keluarga diharapkan bisa menjalankan delapan fungsinya, yaitu fungsi agama, sosial budaya, cinta dan kasih sayang, perlindungan, reproduksi, sosialisasi dan pendidikan, ekonomi, dan lingkungan.
Setiap orangtua juga diharapkan menjalani setiap unsur dalam pengasuhan dengan baik. Unsur itu adalah memelihara, membimbing, mendidik, mengajarkan, dan mengarahkan.
Menurut Mimah Susanti, komisioner Komisi Penyiaran Indonesia, pencegahan dini memang harus terjadi di keluarga . Apalagi dunia internet seperti media sosial juga rentan terhadap risiko terjadinya TPPO dengan korban anak.
Orangtua, kata Mimah, harus mencegah TPPO sejak dini dengan cara membangun komunikasi yang baik dengan anak. Selain itu, ada penguatan nilai agama, menghindari anak putus sekolah, memberikan perhatian dan kontrol terhadap anak, menghindari pernikahan dini anak, membekali anak dengan pendidikan dan keterampilan, serta menghindari untuk menuntut anak di luar batas kemampuan.***