tribun-nasional.com –
- Persoalan kalahnya Indonesia atas gugatan kekalahan perdagangan di Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO) nyatanya tak membuat pemerintah pasrah dan berkecil hati. Indonesia melalui titah langsung dari Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) melakukan banding hukum di WTO.
- Pasca kekalahan, pemerintah telah resmi mengajukan banding atas putusan WTO pada 8 Desember 2022 lalu, yang menyatakan kebijakan larangan ekspor dan hilirisasi nikel melanggar aturan perdagangan internasional. Perlakuan Uni Eropa terhadap Indonesia atas gugatannya di WTO ini dinilai sebagai penjajahan di zaman modern. Bagaimana tidak, kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia ditentang oleh negara-negara Uni Eropa demi menguasai kekayaan sumber daya mineral yang ada di Tanah Air.
- Ada 2 hal yang kekeh dilakukan pemerintah saat ini yakni kekeh melarang ekspor nikel dan bakal melanjutkan mimpi hilirisasi untuk wujudkan ‘raja EV’ dunia dan kekeh untuk melanjutkan perjalanan hukum yang panjang.
Jakarta, CNBC Indonesia – Persoalan kekalahan Indonesia atas gugatan hukum perdagangan di Organisasi Perdagangan Dunia (Word Trade Organization/WTO) bak tiada habisnya. Setelah resmi dinyatakan kalah pada Oktober 2022 lalu, kabar terbaru menyebutkan ternyata Pemerintah tak tinggal diam atas kekalahkan tersebut.
Sebelum jauh kesana, kita coba flashback dulu persoalan WTO ini. Pada 17 Oktober 2022, laporan final panel WTO menyatakan Indonesia terbukti melanggar ketentuan WTO Pasal XI.1 GATT 1994 dalam sengketa yang terdaftar pada dispute settlement (SD) 529.
Dalam aturan tersebut melarang negara anggota melakukan pembatasan dagang selain tarif, pajak dan bea lain. Menurut laporan WTO, salah satu argumen Indonesia adalah bahwa larangan ini bersifat temporer dan penting dilakukan untuk mencegah potensi kekurangan pasokan produk esensial.
Selain itu, dalam final panel report tersebut juga berisi panel menolak pembelaan yang diajukan oleh Pemerintah Indonesia terkait dengan keterbatasan jumlah Cadangan Nikel Nasional dan untuk melaksanakan Good Mining Practice (Aspek Lingkungan) sebagai dasar pembelaan.
Adapun final report didistribusikan kepada anggota WTO lainnya pada tanggal 30 November 2022 dan akan dimasukkan ke dalam agenda DSB pada 20 Desember 2022.
Setidaknya, ada beberapa peraturan perundang-undangan yang dinilai melanggar ketentuan WTO.
Pertama, UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (UU Minerba).
Kedua, Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 25 Tahun 2018 tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral dan Batu Bara.
Ketiga, Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 96 Tahun 2019 tentang Ketentuan Ekspor Produk Pertambangan Hasil Pengolahan dan Pemurnian.
Keempat, Peraturan Menteri ESDM Nomor 7 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pemberian Wilayah, Perizinan, dan Pelaporan Pada Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara.
Indonesia merupakan salah satu produsen nikel terbesar di dunia dan tengah berambisi menjadi ‘raja EV’ global di tengah melonjaknya permintaan akan gawai dan kendaraan listrik. Nikel merupakan komponen penting dalam mendukung ambisi ini.
Dengan ‘harta karun’ yang melimpah ini pada akhirnya membuat Indonesia percaya diri berupaya memaksimalkan potensinya. Jika menilik data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Indonesia kini memiliki tambang nikel mencapai 520,87 ribu hektar. Harta karun seluas ini diketahui tersebar di 7 Provinsi di Indonesia.
Untuk meningkatkan nilai tambah produk nikel dan berfokus pada industri dalam negeri, Indonesia sudah melarang ekspor bijih nikel pada awal tahun 2021.
Sehingga, kekalahan gugatan Indonesia di WTO oleh Uni Eropa buntut dari upaya pemerintah menegakkan kedaulatan atas kepemilikan sumber daya alam berupa nikel.
Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) pun tak menyerah. Ia bilang pihaknya tetap akan menjalankan kebijakannya melakukan hilirisasi di dalam negeri dan tetap melarang ekspor bijih nikel itu.
Perjuangan RI Masih Berlanjut
Kabar terbaru dalam catatan CNBC Indonesia menyatakan bahwa pemerintah Tanah Air masih melanjutkan perjuangan. Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan memastikan pemerintah telah resmi mengajukan banding atas putusan WTO pada 8 Desember 2022 lalu, yang menyatakan kebijakan larangan ekspor dan hilirisasi nikel melanggar aturan perdagangan internasional.
“Hingga saat ini, Indonesia dan Uni Eropa masih menunggu terbentuknya hakim oleh Badan Banding WTO yang saat ini belum ada karena terdapat blokade pemilihan Badan Banding oleh salah satu Anggota WTO (Amerika Serikat),” ujar Zulkifli kepada CNBC Indonesia, Senin (13/2/2023).
Dengan adanya blokade tersebut, maka segala sesuatu menjadi tertunda. Setidaknya ada 25 kasus banding yang menunggu di proses oleh Badan Banding WTO. Kendati demikian, ini sebagai waktu bagi pemerintah dan kuasa hukum telah menyiapkan argumen untuk menguji keputusan panel awal yang dianggap keliru dalam menginterpretasikan aturan WTO.
Dengan ini, Anggota Pokja Hilirisasi Mineral dan Batubara Kadin, Djoko Widajatno sempat menyatakan, bahwa Anggota Uni Eropa yang membawa RI dalam sengketa dagang di WTO termasuk negara-negara yang pernah menjajah RI di masa lampau.
Dia menilai, sikap yang dilakukan Uni Eropa tersebut hampir mirip seperti apa yang dilakukan VOC di masa penjajahan Belanda di Indonesia.
Lantas kenapa Indonesia betul-betul kekeh untuk mengajukan banding? Apa sih dampaknya jika gagal?
Tak bisa dipungkiri, Eropa merupakan lawan berat yang tak bisa kita anggap enteng. Bukan tanpa alasan, negara ini banyak memiliki ahli hukum dan pengacara berkaliber tinggi dan jam terbangnya yang teruji.
Sebagai informasi, WTO memang kerap di jadikan ‘senjata’ oleh Eropa ketika menghadapi kisruh perdagangan. Sejak WTO aktif beroperasi pada 1995, Uni Eropa merupakan pengaju gugatan terbanyak setelah AS.
Dengan berbagai kesiapan dan keseriusan pemerintah menggapai angan-angan ‘raja EV dunia’ tentunya harapan kita semua banding ini berhasil. Kalau amit-amit ini gagal pastinya banyak kekhawatiran yang bakal di hadapi Indonesia.
Yang kita gadang-gadang, Industri mobil listrik dan baterai bakal terancam. Ini bakal merusak reputasi Indonesia di mata para pengembang pabrik pengolahan serta pemurnian nikel (smelter) di mana sejumlah perusahaan memang sudah berinvestasi.
Kalau misalnya kalah di WTO dan sudah banding pun hasilnya sama, maka Indonesia harus bayar kompensasi yang tidak kecil ke pemenang gugatan.
Namun demikian, kami menilai bahwa pembatasan ekspor nikel bisa saja tetap berjalan. Meski kalah, tapi kalau Indonesia tetap kekeh untuk larang ekspor nikel juga Eropa tak bisa apa-apa.
Bukan sekali dua kali negara-negara mangkir dalam putusan WTO. Misalnya, Amerika Serikat (AS) yang baru baru ini menyatakan tak akan mematuhi putusan WTO akan tarif baja dan aluminium yang menyalahi aturan.
Tapi masalahnya, kalau pemerintah memutuskan untuk ‘membandel’ terhadap putusan WTO, Uni Eropa bisa saja melakukan kebijakan berupa balas dendam ke Indonesia. Inilah yang dikhawatirkan bahkan efek jangka panjangnya.
Objeknya adalah produk-produk dagang unggulan suatu negara. Apalagi, Eropa merupakan salah satu mitra dagang strategis Indonesia. Maka tak menutup kemungkinan bahwa produk turunan nikel bakal menjadi korban kekalahan Indonesia ini.
Meskipun pada dasarnya Indonesia punya pasar potensial seperti China dan kita memang mesti mencari negara lain sebagai pangsa hasil turunan nikel kita. Sebagai catatan, tanpa pasar global yang cukup, pabrik EV kita tidak akan punya skala keuntungan yang cukup, terutama karena market Indonesia untuk EV yang masih terbilang kecil
CNBC INDONESIA RESEACH