tribun-nasional.com – Koalisi Perlindungan Kesehatan Masyarakat (KOPMAS) membeberkan bahwa masih ada daerah yang tidak bisa mendapatkan akses layanan kesehatan di posyandu dengan baik, sehingga tumbuh kembang anak tidak terpantau maksimal.
“Seharusnya pemerintah ini jemput bola karena ini juga terbatas kadernya, pengetahuannya terbatas, jadi tidak tahu bahwa ada posyandu. Jadi masih banyak daerah yang tidak mendapat akses posyandu dengan baik,” kata Sekretaris Jenderal KOPMAS Yuli Supriati dalam Media Briefieng KOPMAS yang diikuti di Jakarta, Selasa.
Yuli membeberkan salah satu contoh daerah yang tidak mempunyai akses posyandu adalah Kampung Cijantur, Rumpin, Kabupaten Bogor. Alasan utama kampung tersebut tidak bisa mendapat akses dengan baik adalah medan kontur jalannya yang agak curam.
Akibatnya, agak sulit bagi kendaraan untuk masuk ke dalam dan membuat kesadaran masyarakat akan pentingnya posyandu menjadi minim. Selain kondisi jalan yang sulit, jarak tempuh ke fasilitas kesehatan terdekat seperti puskesmas pun butuh waktu lebih dari satu jam.
Fasilitas terdekat lainnya yang ada yakni sebuah klinik kesehatan milik swasta. Sayangnya, masyarakat tidak bisa menggunakan bantuan BPJS untuk membayar. Minimnya akses kemudian membuat KOPMAS menemukan beberapa anak di kampung dalam kondisi sakit bahkan ada yang meninggal di rumah karena tidak bisa di bawa keluar.
Selain terkendala mengukur tumbuh kembang anak, Yuli menyoroti bahwa banyak anak tidak mendapatkan imunisasi.
“Memang ada sebuah rumah kader yang menyediakannya (imunisasi), tapi tidak rutin disediakan. Mereka juga tidak terinformasi (kalau ada imunisasi yang tersedia), makanya kita harus jemput bola,” katanya.
Hal lain yang KOPMAS temukan di lapangan, katanya, yakni kalaupun masyarakat bisa mengakses posyandu, Pemberian Makanan Tambahan (PMT) berupa biskuit pun tidak diberikan pada anak. Justru orang tuanya lah yang menghabiskannya.
Di posyandu sendiri, pembekalan edukasi terkait asupan gizi anak yang dimiliki para kader juga masih rendah. Tak jarang ditemukan kader yang masih memberikan makanan olahan seperti puding dengan banyak tambahan gula di atasnya.
“Permasalahannya masyarakat kita ini juga menganggap bahwa selain telur, makanan yang kita seperti kental manis, minuman manis dan jajanan instan itu mereka merasa tidak apa-apa bagi anak mereka,” ujarnya.
Dengan sejumlah temuan tersebut, Yuli menyarankan pemerintah untuk mendatangi tiap rumah yang mempunyai anak baduta atau balita, sehingga semua pemeriksaan dapat segera dilakukan termasuk pendataannya.
Hal lain yang dirinya sarankan adalah penyediaan protein hewani di posyandu melalui daging atau ikan, guna menumbuhkan kesadaran masyarakat terkait stunting. Di sisi lain, pembekalan pada kader-kader juga harus dimaksimalkan agar program prioritas nasional pemerintah yakni percepatan penurunan stunting bisa mendapatkan hasil yang baik.
“Sebenarnya kita bersyukur, ya, kalau BKKBN berkolaborasi dengan Kemenkes akan mengadakan telur di posyandu, karena ini maksudnya satu langkah baik yang kita patut apresiasi karena kita tahu, posyandu itu biasanya menjadi swadaya menyediakan makanan sehat,” katanya.*