tribun-nasional.com – Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta masyarakat lebih berani berbelanja demi menggerakkan roda perekonomian dengan konsumsi yang meningkat. Hal itu pun mendapat reaksi dari pengusaha.
Ketua Komite Analis Kebijakan Ekonomi Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Ajib Hamdani mengatakan, untuk meningkatkan konsumsi masyarakat pemerintah perlu memberikan insentif terbaik kepada sektor-sektor yang bisa mendukung perputaran ekonomi lebih baik. Misalnya, kata dia, untuk sektor padat karya.
Hal ini tak terlepas dari ruang fiskal yang relatif terbatas di tahun 2023, dibandingkan tahun 2020-2022. Di mana pemerintah menggunakan Undang-undang (UU) No 2/2020 tentang sistem stabilitas keuangan menghadapi pandemi. Tahun 2023 ini pemerintah sudah tidak bisa memakai UU tersebut.
“Artinya, pemerintah hanya boleh utang maksimal 3%, kemudian ruang fiskalnya terbatas sehingga tidak bisa dengan gampangnya memberikan bantuan sosial, dan lain sebagainya,” kata Ajib Hamdani saat ditemui di sela acara Economic Outlook 2023 CNBC Indonesia, Selasa (28/2/2023).
“Nah untuk itulah kemudian pemerintah harus lebih mendesain aturan-aturan yang dikeluarkan, harus memberikan daya ungkit maksimal terhadap pertumbuhan ekonomi, harus memberikan daya ungkit maksimal terhadap employment sehingga tingkat pengangguran berkurang dan ujungnya adalah untuk menjaga tingkat konsumsi masyarakat, PDB tetap terjaga, dan pertumbuhan ekonomi bisa tercapai di akhir tahun 2023 ini,”cetusnya.
Ajib mengatakan, lebih dari 57% PDB Indonesia itu ditopang oleh konsumsi dalam negeri.
“Presiden sadar, ketika masyarakat terlalu banyak memegang uang tunai, entah dalam bentuk tabungan atau tidak terbelanjakan maka tidak produktif, yang terkorbankan adalah potensi pertumbuhan ekonomi tahun 2023,” ujarnya.
“Jadi bahasanya adalah bagaimana kita mendukung Pak Presiden untuk Indonesia menjaga konsumsinya. Intinya, uang itu berputar dalam sebuah siklus kegiatan ekonomi nasional,” kata Ajib.
Ajib mengatakan, narasi resesi global menjadi serangan balik (backfire) kepada pemerintah, sehingga masyarakat secara psikologis menjadi khawatir dan memilih untuk menyimpan uang dalam bentuk tunai. Akibatnya, likuiditas perputaran uang di tingkat konsumsi akan berkurang.
“Yang terkorbankan adalah pertumbuhan ekonomi. Makanya kenapa kemudian pemerintah itu hanya mematok target dalam kerangka ekonomi makronya di tahun 2023 ini hanya 4,8-5,2%, yang mana ini turun dari pertumbuhan ekonomi tahun 2022,” terangnya.
“Ini akan menjadi parah problemnya kalau masyarakat tidak melakukan belanja. (Oleh karena itu) masyarakat harus menjaga konsumsi sehingga target pertumbuhan ekonomi bisa terjaga dengan baik,” pungkas Ajib.