tribun-nasional.com – Direktur Eksekutif Trias Politika Strategis (TPS) Agung Baskoro menilai, ada yang menarik dari pertemuan Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto dengan Ketua DPP PDI-P Puan Maharani pada Sabtu (8/10/2022) pagi tadi.
Sebab selain karena selain didahului dengan berolahraga bersama, ada hadiah mobil listrik berwarna kuning bergaris merah sebagai hadiah Airlangga untuk Puan.
“Dari situasi tersebut setidaknya bisa dideskripsikan bagaimana obyektif dan rasionalnya relasi antara Golkar dengan PDI-P ini. Karena fakta historik membuktikan bahwa saat petahana tak bisa maju lagi dalam kontestasi (open election) pasca reformasi, PDIP dan Golkar kerap berseberangan,” ujar Agung dalam keterangan tertulisnya pada Sabtu.
Walaupun setelah berkompetisi, Golkar senantiasa merapat kepada kekuasaan baik dalam konteks Demokrat (2004-2014) maupun PDI-P (2014-2024).
Agung menilai, realitas politik tersebut sepertinya berulang saat ini jelang Pilpres 2024 di mana Golkar telah merajut Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) bersama PAN dan PPP.
Sementara itu, PDI-P baru intensif melakukan silaturahim politik lintas partai sebagai mandat rakernas sebelum memutuskan berkoalisi dengan kubu manapun.
Agung melanjutkan, latar politik yang berbeda dari Golkar dan PDI-P ini mengemuka, disebabkan hanya PDI-P yang mampu memenuhi presidential threshold secara mandiri.
Sedangkan Golkar mesti mencari satu atau dua partai agar bisa masuk ke arena Pilpres 2024.
“Realitas politik ini mau tak mau membuat nalar politik Golkar mengharuskan lebih awal berinisiatif agar Airlangga sebagai ketua umum tak memiliki beban besar setelah partai berlambang beringin ini ‘memastikan’ tiket dengan terbentuknya KIB sebagai koalisi pra-pilpres,” kata Agung.
“Ini sangat penting, agar posisi tawar (bargaining position) politik Golkar semakin strategis ketika berhadapan dengan partai atau koalisi manapun termasuk PDI-P,” lanjutnya.
Di sisi yang lain, lanjut dia, PDI-P juga memiliki tantangan politik dengan kelebihan sekaligus kekurangan yang dimiliki saat telah mampu memenuhi ambang batas elektoral.
Karena bila ingin menang pemilu tiga kali berturut-turut (hattrick), maka PDI-P mesti berkoalisi agar ceruk massa yang berpartisipasi memilih semakin luas. Selain itu agar calon yang diusung baik capres maupun cawapres haruslah memiliki elektabilitas yang mumpuni.
“Pertanyaan mendasar akhirnya mengemuka, ke manakah PDI-P akan berlabuh, KIB? Koalisi Indonesia Raya (KIR)? Atau membuat koalisi baru?,” tutur Agung.
Pertama, skema PDIP masuk KIB peluangnya membesar ketika Golkar, PAN, PPP, dan PDIP, tak mengusung jagoannya sebagai harga mati baik sebagai capres maupun cawapres.
Apalagi elektabilitas Airlangga dan Puan belum cukup memadai untuk berhadapan langsung seandainya pencalonan Prabowo dan Anies sebagai capres berlangsung mulus.
“Artinya, pilihan antara Airlangga atau Puan paling maksimal sebagai cawapres, itupun baik Airlangga atau Puan harus legawa bila tak terpilih mewakili KIB karena figur capresnya dari eksternal KIB yang memiliki elektabilitas,” jelas Agung.
Kedua, skema PDIP masuk KIR hanya mungkin bila PKB bersedia memberikan jatah cawapres kepada Puan, menimbang Prabowo sebagai Ketua Umum Gerindra sekaligus koordinator KIR telah solid dipilih sebagai capres.
“Namun, ada pertanyaan yang kemudian mengemuka, apakah Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar (Cak Imin) bersedia? Atau Prabowo rela kehilangan ceruk massa Nahdliyin yang dibawa PKB?,” lanjutnya.
“Hal yang paling rasional bagi PDI-P sementara ini adalah membuat koalisi baru, dengan menarik salah satu anggota KIB atau KIR yang mampu merepresentasikan Islam khususnya NU, baik itu PKB atau PPP sebagaimana Presiden Jokowi sukses terpilih saat mengusung Jusuf Kalla dan Ma’ruf Amin demi melengkapi basis massa nasionalisnya,” jelasnya.
Ditambah lagi, menurut Agung, urgensi pembentukan koalisi baru ini menemui momentumnya, agar keleluasaan PDI-P dalam menentukan capres dan cawapres tidak tersandera dengan kesepakatan koalisi pra-pilpres yang sudah dirajut di masing-masing kubu.
Sehingga Agung menilai, dari kalkulasi politik di atas, maka posisi tawar PKB dan PPP semakin krusial.
“Karena menjadi dua partai yang paling dibutuhkan PDI-P untuk melengkapi warna politiknya saat ingin berkoalisi sekaligus memenangkan pilpres. Pertanyaan kembali muncul, apakah PKB atau PPP tertarik untuk meninggalkan KIR dan KIB demi PDIP,” tutupnya.