tribun-nasional.com – Gempa bermagnitudo 7,8 mengguncang wilayah timur Nurdagi, Provinsi Gazlantep, Turki, pada Senin (6/2/2023). Gempa berkedalaman 23 km dari permukaan tanah itu getarannya dirasakan sampai Suriah, Lebanon, dan Israel yang jaraknya ratusan kilometer dari pusat gempa.
Keberadaan gempa memang tidak bisa diprediksi. Sekalipun teknologi semakin canggih, geolog tidak bisa mengetahui kapan lempeng-lempeng itu akan bergerak.
Namun, sebenarnya, ada sosok yang sudah memprediksi gempa di Turki. Siapa dia?
Sosok ini bernama Frank Hoogerberts. Belakangan ia viral karena cuitannya di Twitter yang memprediksi gempa akan terjadi di wilayah Mediterania, khususnya di Turki.
“Cepat atau lambat akan ada ~M 7.5 gempa bumi di wilayah ini (Turki Selatan-Tengah, Yordania, Suriah, Lebanon),” tulis Hoogerbeets.
Frank mengklaim cuitan tersebut didasarkan pada pengamatan benda-benda langit yang dilihatnya memiliki kesimetrisan di angkasa. Pengataman atas metode tersebut dilakukan karena dirinya bagian dari kelompok bernama Solar System Geometry Survey (SSGEOS).
Dalam laman resminya, SSGEOS adalah lembaga penelitian yang memantau pengaruh posisi geometri benda langit terhadap aktivitas seismik.
Salah satu penelitian yang fenomenal dilakukannya pada 23 Juni 2014 ketika terjadi gempa besar di Pasifik. Pada saat gempa terjadi, SSGEOS melihat kalau enam benda langit terlihat menyatu berbentuk segitiga.
“Dari sini kami menyimpulkan bahwa kuncinya adalah kondisi kerak bumi, yaitu jumlah tekanan antara lempeng tektonik dan apakah bagian patahan telah mencapai batasan regangannya atau tidak. Ini secara logis akan menunjukkan hubungan langsung antara penumpukan tekanan di kerak bumi dan muatan elektromagnetik dari geometri planet kritis,” tulis SSGEOS.
Meski demikian, prediksi Frank ini banyak dipatahkan dalam komunitas ilmiah. Argumennya sederhana: bagaimana bisa gempa yang terjadi di permukaan bumi dapat diprediksi dengan melihat posisi tata surya?
Argumen ini tentu didasarkan oleh fakta kalau ilmu pengetahuan sampai sejauh ini tidak mampu memprediksi datangnya gempa. Termasuk juga kedatangan bencana pengikutnya seperti tsunami atau longsor.
Lalu, apakah ada penelitian ilmiah yang memaparkan hal ini?
Ternyata, penelitian serupa yang mirip dengan klaim SSGEOS itu pernah ditulis di jurnal sains ternama, Nature, berjudul “On the correlation between solar activity and large earthquakes worldwide” yang terbit pada tahun 2020. Penelitinya berasal dari Università della Basilicata, Italia yang diketuai Vito Marchitelli.
Penelitian itu menyimpulkan kalau ada bukti signifikan secara statistik antara korelasi yang tinggi antara gempa bumi di dunia dengan kerapatan proton di dekat magnestosfer. Kerapatan proton itu kemungkinan besar disebabkan oleh efek angin matahari, yang memodulasi kerapatan proton hingga memunculkan tarik-menarik antara ionosfer dan Bumi.
“Pengamatan luas atas beberapa efek elektromagnetik makroskopik sebelumnya yang terkait dengan gempa bumi besar, mendukung model kualitatif kami untuk menjelaskan korelasi kepadatan proton dan gempa bumi,” tulis tim peneliti.
Meski demikian, riset pengaruh tata surya terhadap kemunculan gempa bumi masih sedikit. Untuk membuktikan kebenaran lebih lanjut, dibutuhkan pula riset yang lebih banyak dan kredibel. Artinya, sampai saat ini argumen mayoritas peneliti yang menyebut gempa tidak dapat diprediksi, masih sangat bisa dipercaya.
Namun, berbagai prediksi yang dilakukan Frank, misalnya, bisa dijadikan lampu kuning sebagai langkah pematangan upaya mitigasi.