tribun-nasional.com –
KOMPAS.com – Orang Tionghoa diperkirakan datang dan menetap di daerah Tangerang sejak 1407. Tujuan kedatangan orang Tionghoa ke Tangerang pada saat itu ialah untuk berdagang.
Selama menetap di Tangerang, terjadilah pernikahan antara orang Tionghoa dan orang pribumi. Keturunan hasil perkawinan tersebut hingga saat ini disebut dengan peranakan Tionghoa.
Dalam kesehariannya di Tangerang, peranakan Tionghoa juga membangun sebuah rumah persembahyangan, namanya Kelenteng Boen Tek Bio.
Sejarah Kelenteng Boen Tek Bio
Kelenteng Boen Tek Bio merupakan kelenteng tertua yang ada di daerah Kalipasir, Tangerang. Kelenteng ini diperkirakan sudah dibangun sejak 1684.
Pengurus Kelenteng Boen Tek Bio Tedy Santibalo mengatakan Kelenteng Boen Tek Bio pada zaman dahulu dibangun secara gotong royong.
Peranakan Tionghoa di kawasan tersebut mengumpulkan dana secara kolektif untuk mendirikan sebuah kelenteng.
“Kelenteng ini dulu dibangun dengan sangat sederhana, konon dulu masih berbentuk atap rumbia,” kata Tedy saat dihubungi oleh Kompas.com melalui sambungan telepon pada Jumat (13/01/2023).
Pemberian nama Boen Tek Bio, kata Tedy, memiliki makna tertentu. Kata “boen” berarti intelektual, “tek” berarti kebajikan, dan “bio” berarti tempat ibadah.
“Boen Tek Bio artinya tempat ibadah yang membentuk orang yang berintelektual dengan penuh kebajikan,” katanya.
Setelah dibangun pertama kali pada 1684, Kelenteng Boen Tek Bio kemudian dipugar pada 1844. Pemugaran ini berlangsung selama 12 tahun dan selesai pada 1856.
Tedy mengatakan bahwa Kelenteng Boen Tek Bio yang saat ini dilihat di lokasi, bentuknya sama dengan kelenteng yang selesai dipugar pada 1856.
“Setelah dipugar dari 1844 hingga 1856, kelenteng itu tidak ada lagi dirombak sampai sekarang,” ujar Tedy.
Meskipun begitu, Tedy mengatakan bahwa pengurus kelenteng tetap merawat dan menjaga kelenteng supaya tetap kokoh dan awet.
Adapun perawatan kelenteng yang dilakukan yakni mengganti cat kelenteng yang nampak sudah pudar, hingga menambal bagian-bagian yang sudah nampak lapuk.
“Konstruksi bangunan tersebut (kelenteng) tidak kami ganti, karena bangunan tersebut sangat kokoh,” papar Tedy.
Setelah Kelenteng Boen Tek Bio dibangun di kawasan Pasar Lama Tangerang, lima tahun kemudian kembali dibangun sebuah kelenteng di kawasan Pasar Baru, Tangerang.
Kelenteng itu diberi nama Kelenteng Boen San Bio.
Lima tahun setelahnya kembali dibangun kelenteng di kawasan Pasar Lama, Serpong, bernama Kelenteng Boen Hay Bio.
Pembangunan dua kelenteng setelah Kelenteng Boen Tek Bio memiliki makna tertentu. Kata Tedy, tiga kelenteng ini memiliki filosofi “bersandar gunung memandang lautan”.
Filosofi tersebut diwakilkan dengan makna nama setiap kelenteng. Kata “san” pada nama Boen San Bio berarti lautan, sementara kata “hay” pada nama Boen Hay Bio berarti Gunung.
Posisi ketiga kelenteng tersebut, kata Tedi, membentuk segitiga saat dilihat dari hasil pemotretan satelit.
“(kelenteng) Boen Tek Bio ada di tengah, di depannya (kelenteng) Boen Hay Bio, dan di belakangnya adalah (kelenteng) Boen San Bio,” paparnya.
Posisi tersebut, kata Tedy, menggambarkan kalau seseorang harus memiliki sandaran yang kokoh dan pijakan yang kuat dalam menghadapi kehidupan.
Cagar budaya Kota Tangerang
Keberadaan Boen Tek Bio, kata Tedy, tidak hanya difungsikan sebagai tempat persembahyangan, tetapi juga sebagai cagar budaya Kota Tangerang.
“Pada saat itu Wali Kota tahun 2011 menetapkan Kelenteng Boen Tek Bio sebagai cagar budaya di Kota Tangerang,” kata Tedy.
Penetapan Kelenteng Boen Tek Bio sebagai cagar budaya kota Tangerang ini juga beriringan dengan penetapan Masjid Jami’ Kalipasir sebagai cagar budaya.
“Masjid Jami’ ini masjid tertua di Kalipasir, Tangerang. Sementara Kelenteng Boen Tek Bio ini merupakan kelenteng tertua di Tangerang ,” ujarnya.
Persiapan Imlek di Kelenteng Boen Tek Bio
Dalam rangka menyambut Tahun Baru Imlek, Tedy mengatakan pihak Kelenteng Boen Tek Bio melakukan beberapa persiapan. Di antaranya melakukan pembersihan kelenteng.
“Kami percaya ada toapekong naik dan ada toapekong turun,” katanya.
Menurut penjelasan Tedy, toapekong naik bermakna waktu catatan perilaku dan sifat seseorang selama setahun belakangan dibawa ke langit.
Dua minggu kemudian akan ada toapekong turun, pada saat ini dipercaya kondisi catatan seseorang sudah bersih setelah turun dari langit.
“Refleksinya, kami membersihkan diri juga, membersihkan batin kami untuk memasuki tahun yang baru,” kata Tedy.
Persiapan menyambut Tahun Baru Imlek selanjutnya yang dilakukan yaitu pemasangan lampion di kelenteng.
Lampion yang selama satu tahun dipasang untuk menghiasi kelenteng nantinya akan diganti dengan lampion baru.
“Artinya, kita punya harapan baru dan penerangan yang baru untuk tahun baru,” papar Tedy.
Membahas Tahun Baru Imlek tidak lengkap tanpa adanya kue keranjang. Tedy mengatakan pihak Kelenteng Boen Tek Bio akan menyusun kue keranjang dan buah-buahan di kelenteng.
Menurut Tedy, kye keranjang bukan hanya dinilai sebagai sebuah makanan semata, melainkan punya filosofi mempersatukan.
“Lengketnya kue keranjang artinya mempererat antara satu dan yang lain. Jadi keluarga yang jauh menjadi dekat,” pungkas Tedy.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram “Kompas.com News Update”, caranya klik link , kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.