tribun-nasional.com – Jakarta – Keputusan pemangkasan produksi minyak bumi oleh OPEC+ menjadi 2 juta barel per hari (BOPD) pada 6 Oktober 2022 memicu reaksi keras di luar negara anggota OPEC. Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa merasa terkecoh dengan putusan tersebut, lantaran dapat menaikkan harga BBM di tengah ancaman inflasi.
untuk diketahui, 13 negara anggota pengekspor minyak bumi (OPEC) yang dipimpin oleh Arab Saudi, dan 10 sekutunya (OPEC+) yang dikomandani Rusia, sepakat mengurangi produksi menjaid 2 juta barel per hari mulai November 2022.
Enam+
Mantan Menteri Luar Negeri Australia Karin Kneissl menilai, putusan OPEC+ memangkas produksi minyak dunia tak bisa terlepas dari konflik geopolitik antara Rusia dan Ukraina. Menurutnya, konfrontasi itu bisa dipecah, antara AS dan sekutu Eropanya yang mewakili sektor keuangan global, Pada dasarnya terlibat dalam pertempuran melawan kekuatan energi dunia.
“Dalam 22 tahun terakhir, kita telah melihat betapa mudahnya Pemerintah (AS) mencetak mata uang kertas. Hanya dalam tahun 2022, dolar AS telah mencetak lebih banyak uang kertas dalam sejarah. Energi, di sisi lain, tidak dapat dicetak. Di situlah letak masalah mendasar bagi Washington, sektor komoditas dapat mengalahkan industri keuangan,” dikutip dari tulisan Kneissl di laman The Cradle, Minggu (30/10/2022).
Berkaca pada sejarah, ia mengatakan, negara anggota OPEC dari Jazirah Arab pada 2005 sepakat minyak bakal diperdagangkan dalam dolar AS untuk waktu panjang. Nyatanya, pandangan itu berubah drastis 17 tahun kemudian.
“Riyadh memanas dengan gagasan perdagangan minyak dalam mata uang lain, seperti yang ditunjukkan tahun ini dalam diskusi dengan China untuk berdagang dalam yuan. Saudi juga terus membeli minyak Rusia seperti dilakukan negara-negara Asia Barat dan Selatan lainnya. Mereka telah memilih untuk mengabaikan sanksi Barat terhadap Moskow, dan semakin siap dengan kondisi global atas perpecahan kutub,” ungkapnya.
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Harga Minyak Jadi Tolak Ukur
Kneissl lantas menggambarkan ketegangan dalam pertemuan tingkat menteri OPEC+ pada 6 Oktober 2022, yang terjadi antara Amerika dan Saudi. Gedung Putih pun dibuat bimbang, antara merajuk atau membalas dendam terhadap Saudi yang dulu patuh.
Selama hampir 1 tahun, Presiden AS Joe Biden telah memperluas pasokan bahan bakar Negeri Paman Sam melalui cadangan minyak strategis. Namun, itu tidak dapat mengkalibrasi harga minyak atau inflasi yang tak terkendali.
Kongres AS bahkan mengancam untuk menyiapkan nota NOPEC, dengan dalih hukum melarang kartel untuk menyita aset Pemerintah OPEC. Tapi, Kneissl mengingatkan, ancaman Gedung Putih itu potensi jadi bumerang, dan bahkan mempercepat pergeseran geopolitik yang terjadi di Asia Barat yang telah keluar dari orbit AS dalam beberapa tahun terakhir.
Diplomat senior ini berpendapat, harga minyak merupakan tolak ukur antara perekonomian dunia dan juga geopolitik global. Dengan pengurangan produksi, OPEC+ hanya berencana untuk mengantisipasi konsekuensi resesi yang akan datang.
Selain itu, beberapa negara produsen gagal menciptakan kapasitas baru, mengingat kesenjangan investasi yang telah berlangsung sejak 2014, dimana harga minyak yang rendah tidak dapat dipertahankan jika tidak ada modal besar di sektornya.
“Situasi pasokan energi diperkirakan akan semakin memburuk pada 5 Desember, ketika embargo minyak yang diberlakukan oleh Uni Eropa mulai berlaku,” tegas Kneissl.
“Hukum dasar penawaran dan permintaan pada akhirnya akan menentukan banyak distorsi di pasar komoditas. Sanksi anti-Rusia yang dibuat oleh Uni Eropa dan negara-negara lain (total 42 negara) telah mengganggu pasokan global, dan itu memiliki konsekuensi pasokan dan harga,” kecamnya.
Enam+
Beralih dari Barat ke Timur
Berbalik ke belakang, ia melihat krisis keuangan global pada 2008 serta pandemi Covid-19 di 2020 telah menyebabkan pencetakan uang kertas secara berlebihan. Ironisnya, China kemudian muncul sebagai penggerak ekonomi global yang lumpuh dari krisis pertama, dimana Beijing menstabilkan komoditas pada 2009/2010, dan membawa yuan ke dalam skema perdagangan.
Kondisi itu membalikkan China, yang pada awal 1990-an kebutuhan konsumsi minyak dalam negerinya hanya 3-4 juta barel per hari. Namun 15 tahun kemudian, Negeri Tirai telah berubah menjadi importir minyak nomor satu dunia.
“Status ini mengungkapkan peran penting Beijing di pasar minyak global. Sementara Arab Saudi dan Angola adalah penyedia minyak penting, Rusia adalah pemasok gas utama bagi China,” kata Kneissl.
Menurut pandangannya, banyak kepentingan sudah beralih dari barat ke timur selama 20 tahun terakhir. Ia pun menyayangkan sikap Rusia yang berinvestasi dalam infrastruktur dan kontrak jaringan pipa gas ke pasar Eropa yang tidak tahu berterima kasih.
Berkaca pada situasi geopolitik terkini, Kneissl menilai, perhatian utamanya tidak pernah tentang Ukraina. Ia telah menyaksikan industri keuangan yang dipimpin barat mengobarkan perangnya melawan ekonomi energi yang didominasi timur. Namun berbeda dengan uang, energi tidak dapat dicetak.
Enam+
Minyak Dapat Hancurkan Negara
Disebutnya, volume minyak dan gas yang dibutuhkan untuk menggantikan sumber energi Rusia tidak dapat ditemukan di pasar dunia dalam waktu 1 tahun. Dan, tidak ada komoditas yang lebih mendunia selain minyak. Setiap perubahan di pasar minyak akan selalu mempengaruhi perekonomian dunia.
“Minyak membuat dan menghancurkan negara. Ini adalah kutipan yang melambangkan pentingnya minyak dalam membentuk tatanan global dan regional, seperti yang terjadi di Asia Barat pada era pasca Perang Dunia I. Pertama datang jaringan pipa, lalu datang perbatasan,” urainya.
“Mendiang mantan Menteri Perminyakan Saudi Zaki Yamani pernah menggambarkan, aliansi minyak lebih kuat dari pernikahan Katolik. Jika itu masalahnya. Maka pernikahan lama AS-Saudi saat ini sedang mengalami kerenggangan dan Rusia telah mengajukan gugatan cerai dari Eropa,” tandasnya.