tribun-nasional.com – PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk bersiap menyesuaikan suku bunga perseroan seiring dengan tren kenaikan suku bunga acuan BI atau BI 7-Day Reverse Repo Rate dalam tiga bulan terakhir.
Direktur Utama BTN Haru Koesmahargyo mengatakan, kenaikan suku bunga acuan BI merupakan dinamika yang wajar dalam dunia perbankan merespons kondisi ekonomi baik global maupun domestik.
“Tentu kita lihat bahwa BI rate itu adalah satu komponen, masih ada komponen lain yaitu likuiditas. Dan yang ketiga adalah persaingan. Jadi kalau tiga-tiganya sudah muncul bersamaan, ya kami sesuaikan. Suku bunga simpanan kami naikkan, itu pasti,” kata Haru dalam Paparan Publik Kinerja Keuangan Bank BTN Per 30 September 2022 di Jakarta, Kamis.
Kenaikan suku bunga simpanan, lanjut Haru, tentunya juga akan diikuti dengan peningkatan suku bunga kredit perseroan. Mengutip laman resmi BTN, suku bunga dasar kredit (SBDK) per 30 September 2022,untuk kredit korporasi mencapai 8 persen, kredit ritel 8,25 persen, kredit konsumsi yaitu KPR 7,25 persen dan non KPR 8,75 persen.
“Mungkin kalau kita lihat SBDK BTN masih tetap sama. Kemarin kamimemberikan banyak sekali diskon untuk KPR dalam rangka kemerdekaan, HUT BTN, dan lainnya, sehingga kamisesuaikan sekarang mungkin kamiperpendek masa diskon tersebut untuk menyeimbangkan antara biaya bunga KPR yang tinggi tapi juga menyeimbangkan dengan permintaan dari sisi kredit,” kata Haru.
Bank Indonesia mulai menaikkan suku bunga acuan pada Agustus 2022 lalu sebesar 25 basis poin (bps) dari 3,5 persen menjadi 3,75 persen. Kemudian pada September, bank sentral kembali menaikkan suku bunga acuan sebesar 50 bps menjadi 4,25 persen.
Teranyar, pada pertengahan Oktober 2022 lalu, BI kembali menaikkan suku bunga acuan 50 bps menjadi 4,75 persen. Selain suku bunga acuan, bank sentral turut menaikkan suku bunga deposit facility dan lending facility masing-masing sebesar 50 bps menjadi 4 persen dan 5,5 persen.
Keputusan tersebut disebut sebagai langkah front loaded, pre-emptive, dan forward looking untuk menurunkan ekspektasi inflasi yang saat ini terlalu tinggi atau overshooting. Selain itu, keputusan tersebut untuk memastikan inflasi inti ke depan kembali ke dalam sasaran 2-4 persen lebih awal, yaitu ke paruh pertama 2023, serta memperkuat kebijakan stabilisasi nilai tukar rupiah.
Dengan demikian, diharapkan agar rupiah bisa sejalan dengan nilai fundamentalnya akibat semakin kuatnya mata uang dolar AS dan tingginya ketidakpastian pasar keuangan global, di tengah peningkatan permintaan ekonomi domestik yang tetap kuat.
“Secara singkat, kenaikan BI rate itu kita akan menyesuaikan dan bagaimana terhadap dampaknya ya kalau suku bunga simpanan naik, suku bunga pinjaman juga naik,” ujar Haru.